Socrates

Metode Sokrates, dinamai sesuai filsuf Yunani Klasik Sokrates, adalah suatu bentuk penelaahan filosofis dengan mengeksplorasi implikasi dari posisi lawan bicara untuk merangsang munculnya pemikiran rasional dan gagasan baru.[1] Metode dialektis ini sering melibatkan diskusi yang bertentangan, cara pandang seseorang diadu dengan yang lain; seorang partisipan dapat mengarahkan orang lain untuk menentangnya sehingga akan memperkuat pandangannya sendiri.
Sokrates mulai melibatkan diri dalam diskusi demikian dengan kawan-kawannya dari Athena mengikuti Chaerephon, yang sudah menjadi temannya sejak masa remaja, mengunjungi Pythia, sehingga menegaskan Sokrates menjadi manusia terbijak di Athena. Sokrates melihat hal ini sebagai suatu paradoks, dan mulai menggunakan metode Sokrates untuk menjawab permasalahan ini. Walaupun demikian, Diogenes Laërtius, seorang penulis biografi dari filsuf Yunani, menulis bawa Protagoras yang menemukan metode Sokrates.
Dialog Sokrates (bahasa Yunani Σωκρατικός λόγος atau Σωκρατικός διάλογος) adalah sebuah genre karya sastra prosa yang dikembangkan di Yunani pada peralihan abad ke-4 SM, yang dilestarikan di masa kini dalam bentuk dialog-dialog Plato dan karya Xenophon untuk Sokrates - baik dalam bentuk dramatis ataupun naratif. Di dalam dialog-dialog ini dibahas masalah-masalah moral dan filsafat, menggambarkan metode Sokrates. Sokrates seringkali menjadi tokoh utamanya.
Lebih tepatnya, istilah ini merujuk kepada karya-karya yang menampilkan Sokrates sebagai tokohnya, meskipun sebagai sebuah genre, teks-teks lainnya juga diikutsertakan. Hukum karya Plato dan Hiero karya Xenophon adalah dialog-dialog Sokrates yang di dalamnya seorang bijaksana lain dan bukan Sokrates yang memimpin diskusinya (masing-masing adalah Orang Asing dari Athena dan Simonides. Demikian pula, format gaya dialognya bisa berbeda-beda. Dialog-dialog Plato biasanya hanya mengandung kata-kata langsung dari masing-masing pembicaranya, sementara dialog-dialog Xenophon ditulis sebagai sebuah cerita yang melanjut, dan bersama-sama dengan narasi keadaan dialognya, memuat "kutipan-kutipan" dari para pembicaranya.
Menurut sebuah fragmen Aristoteles, pengarang pertama dialog Sokrates adalah Alexamenes dari Teos, tetapi kita tidak mempunyai informasi apapun tentang dia, apakah Sokrates muncul dalam karya-karyanya, atau seberapa akurat Aristoteles dalam penilaiannya yang negatif tentang Alexamenes.
Selain Plato dan Xenophon, Antisthenes, Aeschines dari Sphettos, Phaedo dari Elis, Euclides dari Megara, Simon si Tukang Sepatu, Theocritus, Tissaphernes dan Aristoteles, semuanya menulis dialog-dialog Sokrates. Cicero menulis dialog-dialog yang sama dalam bahasa Latin mengenai tema-tema filsafat dan retorika,
Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian?
Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting.
Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini?
Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.
Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
“Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?”
“Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini.”
“Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?”
“Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya.”
“Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?”
“Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup.”
“Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?”
“Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi lebih hebat dari Kranos tentunya.”
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
“Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?”
“Ya Sokrates. Memangnya ada apa?”
“Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?”
“Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang.”
“Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?”
“Maksudmu apa Sokrates?”
“Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?”
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
“Iya, mungkin, Sokrates.”
“Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang.”
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
“Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos, wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan semata-mata karena melihat orang lain.”
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno mencari temannya terlebih dahulu
dan mereka bertiga menuju rumah Sokrates.
Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne (seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya seibarat “bidan” yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang adalah seorang bidan.
Kematian Sokrates adalah sebuah tragedi dalam sejarah perjalanan filsafat. Kematiannya seakan-akan membuka mata banyak orang saat itu, bahwa inilah konsekuensi riskan dari mempertahankan suatu kebenaran yang didapat melalui aktivitas filsafatnya. Akan tetapi, apakah kematian—sebagaimana telah ditempuh oleh Sokrates—dapat sungguh-sungguh dipandang atau sekurang-kurangnya dapat dipahami sebagai suatu tindakan yang tepat yang diambil oleh Sokrates? Dapatkah kematian itu dikatakan baik? Apakah ini juga kebenaran/kebijaksanaan? Di bawah ini akan diuraikan kematian dalam terang Apologia Sokrates, yang mana Sokrates menjadi titik tolak refleksi kematian ini, terutama kematian oleh sebab kebenaran/kebijaksanaan.

Konsep “(Jiwa) yang Baik”

Dalam Apologia, Sokrates, diceritakan mengajukan pembelaannya atas tuduhan-tuduhan para penuduhnya di hadapan para dewan. Dalam usahanya itu, ia memberikan pembelaan yang boleh dikata menjebol kebekuan manusia yang cenderung puas diri dalam kesempitan cara berpikir (dan karenanya juga melukai cita rasa publik bahkan juga citarasa religius elit masyarakat pada waktu itu).

Akibatnya jelas bahwa ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Kematian Sokrates adalah kematian demi kebenaran. Kebenaran di sini tak lain adalah kebijaksanaan, yang dalam konteks Yunani kuno berarti pengetahuan. Bagi Sokrates sendiri, pengetahuan itu berarti adalah pengetahuan akan “yang baik“.

Adapun “yang baik“ itu adalah eudaimonia (Yun.) yang sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan. Yang dimaksud Sokrates ini bukan sekadar kebahagiaan tetapi memiliki arti yang lebih dalam, yaitu sebagai suatu paham eksistensial yang menunjuk pada keadaan objektif, yakni berkembangnya seluruh aspek atau dimensi kemanusiaan seorang individu. Dengan paham ini maka jelaslah bahwa tujuan hidup manusia itu tak lain adalah membuat dirinya atau jiwanya berkembang secara menyeluruh dan sebaik mungkin. Dan “yang baik” itu dalam tataran spiritualitas Sokrates adalah Tuhan sang kesempurnaan kebijaksanaan.

Manusia musti memikirkan “yang baik“ itu, mencarinya, memahaminya, menghayatinya, dan melakukannya. Jika orang memiliki keutamaan ini, tentunya akan melakukan yang baik. Sebagai contoh, apabila orang tahu apa artinya tolong-menolong maka dalam hidupnya tolong-menolong inilah yang hendaknya terjadi atau ditindakkan dalam kehidupan ini. Baginya (Sokrates) ketika orang tahu yang baik itu maka sudah barang tentu dia berlaku baik, oleh karena itu menurut Sokrates kejahatan itu identik dengan ketidaktahuan.

Pemikiran yang sedemikian ini membawa serta konsekuensi-konsekuensi yang sering tidak mengenakkan bagi mereka (misalnya: kesukaran-kesukaran, ketakutan, rasa malu, dsb.), apabila seseorang ingin dengan sungguh-sungguh mencari dan menindakkan “yang baik” tersebut. Orang di sini bertemu dengan yang namanya realitasnya, al. realitas kehadirannya, realitas kehadiran sesamanya, realitas tatanan hidup bersama dengan sesamanya, realitas dunia dimana ia berada, realitas relasinya dengan dunia, realitas Tuhannya dan realitas relasinya dengan Tuhan dalam hidupnya, dan realitas segala sesuatu yang ambil bagian di dalamnya.

Berhadapan dengan segala realitas di atas, belum tentu manusia mampu untuk memahaminya, karena memang tidak mudah. Butuh yang namanya keberanian untuk menghadapi itu semua di samping penggerak lain yaitu “yang baik“. Ini penting! Mengapa? Usaha menggapai kebijaksanaan itu sekali lagi riskan dan bahkan berbahaya.

Refleksi Kematian Sokrates

Sokrates tidak takut akan kematian. Baginya kematian adalah baik. Timbullah suatu permasalahan di sini, mengapa kematian itu baik? Untuk mengawalinya perlulah diketahui terlebih dahulu bahwa ketika Sokrates diadili dan kemudian mengajukan pembelaannya, ia pertama-tama menempatkan dirinya sebagai seorang warga Athena yang baik yang taat pada hukum serta demi ketaatannya kepada Tuhan. Ketaatan-ketaatan inilah yang mendorongnya melakukan pembelaannya—pembelaan yang intinya menyangkal segala tuduhan-tuduhan yang tidak benar dari para penuduhnya.

Sokrates merasa perlu melakukan pembelaan itu karena ia sadar bahwa apa yang telah ia perbuat selama ini (aktivitas pencarian kebijaksanaan) adalah benar, dan ia pun tidak menginginkan orang-orang berada dalam kesesatan hanya karena tuduhan-tuduhan yang ditunjukkan kepadanya. Hasil dari pembelaannya adalah hukuman mati bagi dirinya, sebagaimana diinginkan oleh para penuduhnya daripada dengan keberadaannya, mereka terus dirong-rong karena nyata-nyata kedapati hanya berlagak bijaksana namun tidak sama sekali.

Dengan mengajukan Sokrates dalam persidangan dan mengajukan hukuman mati sebagai hukuman yang layak bagi Sokates karena telah merusak moral kaum muda dan mengajarkan agama baru, para penuduh berangapan Sokrates akan takut atau setidaknya gentar dihadapan mereka. Namun ternyata tidak, malahan ia berkata kepada para penuduhnya, “Aku memandang ini sebagai sebuah bukti bahwa apa yang telah terjadi padaku adalah sesuatu yang baik, dan barang siapa di antara kita yang berpikir bahwa kematian adalah sesuatu yang jahat mereka itu salah.”

Kematian yang dianggapnya baik ini berkaitan dengan pemahamannya akan kematian itu sendiri yang erat kaitannya dengan “yang baik” tadi. Baginya kematian adalah suatu keadaan ketiadaan dan sama sekali tanpa kesadaran, atau sebuah perubahan dan perpindahan jiwa dari dunia ini ke tempat yang lain.

Ini dapat dimengerti demikian. Bagi Sokrates kebijaksanaan tertinggi itu hanyalah milik Tuhan dan bukannya manusia karena milik manusia itu terbatas dan tidak sempurna. Oleh karena itu maka tujuan dari apa yang dicari di dunia ini (kebijaksanaan) adalah Tuhan itu sendiri atau “yang baik” itu. Bahkan hal ini kembali dipertegas dengan pernyataannya bahwa kematian adalah keuntungan. Jelaslah sekarang bahwa seluruh pengembaraan Sokrates memuncak pada hal ini. Maka dari itu kalau memang dihadapkan pada kematian ia berani. Ia beranggapan, kematian demi apa yang telah ia lakukan selama ini, tak lain adalah usahanya juga untuk menggapai “yang baik” itu, atau bahkan jika perlu dapat juga dipandang sebagai pemenuhan pengembaraannya dalam mencari kebijaksanaan sejati.

Melihat ini dapatlah dipahami mengapa kematian itu baik, namun mengapa Sokrates lebih memilih hal ini? Sampailah di sini bahwa memang tidak ada pilihan lain baginya saat itu selain pilihan menjalani hukuman kematian. Perlulah pada poin ini diingat kembali cerita dalam Apologia. Dengan berbagai cara Sokrates menjelaskan bahwa tuduhan-tuduhan para penuduhnya itu salah, namun usahanya pun tetap tidak dapat meyakinkan para dewan waktu itu. Rupanya di sinilah ia melihat bahwa kepalsuan telah begitu merasuk dalam anggota dewan yang sebagian besar membencinya lantaran pernah merasa sakit hati olehnya.

Untuk itulah dia lebih memilih untuk mati. Ia rela menanggung ketidakadilan daripada ia sendiri berbuat yang tidak adil. Kekonsistenannya dengan apa yang dihayatinya ini merupakan sesuatu penegasan kembali pendiriannya. Apabila dia melanggar apa yang ia yakini dan ia wartakan, itu sama halnya bahwa ia menipu dirinya sendiri. Hal ini mau mengatakan suatu yang penting bahwa apabila ia menipu dirinya, berarti selama ini yang dicarinya tak lain adalah kebijaksanaan yang semu, yang akhirnya menempatkan dia sama halnya dengan para penuduhnya.

Kebijaksanaan sejati akan “yang baik” adalah yang dikejar, diusahakan, dan kemudian dihayati oleh Sokrates. Demi mempertahankan dan memperjuangkannya ia rela mati. Ungkapan bahwa kematian ini baik harus dimengerti dalam konteks ini, bahwa kematian adalah usahanya untuk tetap mempertahankan yang baik ini. Oleh karena ini penting maka diungkapkanlah kata-kata sebagaimana menjadi pembuka tulisan ini, agar mereka yang mendengarkannya tidak lagi terjebak dalam kepalsuan, yang mungkin sebenarnya hanya bayangan semu dari yang benar itu, namun saking terpukaunya malahan menganggap hal itu sebagai suatu kebenaran/kebijaksanaan sejati.

Penutup

Kematian atau lebih tepatnya kemartiran Sokrates ini membawa siapa saja yang merenungkannya kepada kesadaran akan pentingnya “yang baik” yang ada dalam kehidupan ini. Sederhana namun sering terhalang oleh pikiran-pikiran sempit yang malah terkadang mengaburkan maknanya, lantaran tidak pernah direfleksikan secara mendalam.

Kepuasan dan kenyamanan dengan hanya memperoleh bayangan semu dari “yang baik” ini bukanlah suatu yang patut diteruskan karena hanya akan membawa hidup ini pada pendangkalan dan bukannya pada perkembangan jiwa yang baik, yakni jiwa yang selalu mengembara, mencari, dan menemukan kebijaksanaan sejati. Inilah kepalsuan yang menurut Sokrates harus dihindari

Buku mini yang trgenggam ditangan saya ini berjudul" SOCRATES in 9O Minutes" buku mini karya Paul Strathern, dengan Alih bahasa Frans Kowa, sosok yang ingin lebih jauh saya kenal pasca nama tokoh tersebut tak lagi asing oleh beberapa Kaka'-kaka' akhowat kampus ketika memberikan saya juga yang lain selembar kertas mengenai socrates, tak hanya dibagian Aktivis Dakwah kampus, bahkan sosok Sokrates sempat tersyiar disalah satu Radio dakwah Pontianak diacara samudra Hidayah, lalu kembali saya temui ketika tanpa sengaja membedah kumpulan e-book ditags oase Iman, or Hikmah bunga Rampai,
"How is?" pertanyaan simpati (simpan dalam hati) siapa sesungguhnya sokrates itu?" tentu hanya sekedar pertanyaan, secara bertanya pun kami hanya mengetahui sebagian dari sisi sokrates, jika saya bertanya, "apa anda mengenal soeharto?" tentu, meski ia tak ada lagi didunia ini, bahkan tanpa sempat membaca auto maupun biografi orang nomor 1 ini tentu tak asing lagi,
lantas siapa sokrates itu?, (hmmm Alhamdulillah) pertanyaan sayapun terjawab sudah, buku itu saya temui tanpa sengaja saat memindahkan beberapa file dan dokumentasi kantor keruangan perpustakaan yang pada hari itu pun berpindah tempat secara ruangan saya kan direnovasi ples keramik (yang tak sabar lagi tuk saya tempati, huehueheks)
jadilah hari itu kami bermandi debu dengan tumpukan buku berjumlah (sebanyak satu ruangan perpustakaan sekolah dasar) fiuh, sayalah yang ter akreditasi paling lambat tuk sekedar mengangkat, apa lagi jika bukan memindahkan sambil membaca satu persatu buku meski resensi doang, entah ensiklopedia, sains, ekologi, sosial dan huweks, alhasil kepala pun pusing tak karuan menampung beban bacaan yang tak beraturan, seperti gado-gado ditambah sambal, (enak, tapi menyiksa gitu).
Pindah kebagian buku belakang ditangan saya tergenggam tumpukkan buku yang sama namun dengan judul yang berbeda.
Ketika dibagian akhir Mata sayapun terperangah berlari menuju teman satu ruangan sementara tuk membawa buku tersebut pulang kerumah. Alhasil syukur Alhamdulillah buku itupun saya temukan kini, huhu, baiklah saya akan berbagi, mengapa Sokrates membuat saya begitu jatuh hati, sekilas mengenai Sokrates, ia adalah seorang Filsafat yang memiliki wajah yang very, very jelek sekali, jika anda bertemu ia, anda akan bergidik dan berlari. Namun dari kekurangan tersebut ia memiki kata-kata bijak yang begitu disegani, jika umat muslim memiliki Lukman Alhakim yang begitu pandai mengolah kata, maka para filsafat barat memiliki Sokrates sebagai penemu metode dialektik, yang pernah menjadi pendahulu logika Aristoteles.
Dialektika Sokrates terbukti amat menentukan, metode tersebut jelas menjadi acuan sastra yang tertuang dalam dialog-dialog dahsyat plato. (belajar lah dari Sokrates jika anda ingin mendalami Sastra). Sokrates adalah sosok yang bijak dalam menilai siapapun, terbukti ketika pertama kali nama nya saya dengar dalam lantunan Samudra Hidayah ketika ia berkata, mengenai 3 hal tentang persahabatan, salah satu pesan Sokrates hingga kini slalu saya ingat yaitu, "untuk selalu menyaring antara yang bermanfaat ataupun tidak, lupakan kesalah teman yang pernah menyakiti, dan berusaha untuk memahami".
Dalam The Problems of Sokrates, yang disitir oleh Nietzsche, Twilight of the Idols disitu terdapat sebuah kisah mengenai seorang asing yang dapat membaca wajah datang ke Athena, ketika ia melihat Sokrates, kesan pertama ia memberi tahu secara terang-terangan bahwa sang filsuf seorang monster, lalu didalam dirinya terkandung segala macam nafsu buruk dan jahat. (tahukah anda apa yang dikatakan Sokrates saat mendengar penuturan tersebut? Dengan singkat Sokrates bertanya "Anda mengenal saya, ya Pak!".
Pada kalimat tersebut saya berheti sejenak berfikir (terkadang saya juga sering menilai seseorang pada pandangan pertama tuch). Apa lagi didalam kepenjurusan prodi yang saya dalami ini, begitu banyak materi psikologi yang menuntut saya untuk menilai berbagai macam karakter, lalu dengan gampang dan mudahnya menilah sosok individualis dengan penilaian, Sanguinis, koleris, Melankolis dan phlegmatis. (tanpa mendalami karakteristik dominan) PR besar untuk kami khususnya Prodi Konseling tuk dapat menilai lebih objektif lagi, "of course" apa jadinya jika saya menjadi sosok asing dari Athene itu menilai seseorang dari raut wajah saja, tentu saja saya akan jauh dari bijaknya pribadi Sokrates.
& akhirnya, dibuku mini 9O Menit bersama Sokrates saya dapat mengenal jauh Sokrates meski saya begitu sedih ketika mengetahui Sokrates harus mengakhiri hidupnya dengan Tragis, karena tuduhan murtad dan "meracuni" kaum muda, ia pun dihukum mati. Semangkuk racunpun ditenggak dan berakhirlah hidup sosok filsafat yang berperawakan filsuf dengan cara perpakaiannya yang hanya mengenakan jubah cunklang lusuh berselimut mantel setengah panjang & usang. Tak peduli apapun cuacanya, ia selalu keluar rumah tanpa alas kaki, meskipun demikian Sokrates adalah prajurit tempur yang tangguh abadi dalam sejarah perjuangan.



Terjemahan empat teks kunci Plato ke dalam bahasa Indonesia ini amat memperkaya pustaka filsafat dalam bahasa Indonesia. Plato tetap boleh dianggap filsuf terbesar segala zaman, teks-teksnya dibaca sampai hari ini, justru oleh para filsuf terkemuka. Jadi, kalau tetralogi Plato yang sangat penting ini sekarang dapat dibaca dalam bahasa Indonesia, ini merupakan suatu peristiwa yang sangat menggembirakan
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ, guru besar etika dan filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta


Plato meninggalkan lebih dari 40 karya berbentuk dialog. Namun, di antara karya itu, empat dialog yang ditulisnya pada awal-awal karirnya sebagai filsuf merupakan buku penting yang mengungkap berbagai isu fundamental dalam filsafat.
Euthyfro berbicara tentang konsep kesalehan dan ketuhanan; Apologi berbicara tentang keberanian dan kebebasan berpendapat; Krito berbicara tentang pemerintahan dan politik; dan Faedo berbicara tentang jiwa dan kehidupan setelah mati. Keempat buku ini menjadi tetralogi Plato yang paling banyak dirujuk sarjana, di samping Republik. Kita harus berterimakasih kepada Ioanes Rakhmat yang telah menerjemahkan tetralogi penting ini dan menyuguhkannya dengan sangat bagus. Kesabaran penulis dalam membongkar naskah asli dialog-dialog Plato dan membandingkannya dengan naskah-naskah Inggris dan Belanda patut diapresiasi. Ini adalah karya kesarjanaan pertama dalam bahasa Indonesia yang menghadirkan tetralogi Plato, filsuf besar Yunani itu, secara utuh
Luthfi Assyaukanie, Ph.D., dosen filsafat, Universitas Paramadina, Jakarta

Di Indonesia tidak pernah muncul kajian serius tentang Sokrates, pelopor pembangkang intelektual yang memikul misi tunggal: mempertanyakan kemapanan dengan jujur dan rendah hati, menawarkan gagasan tandingan kepada kaum muda dan lingkungannya, tanpa pretensi ide baru itulah satu-satunya kebenaran. Ioanes Rakhmat memelopori tugas berat ini dengan ketekunan dan kesungguhan yang mengagumkan. Dia, seperti kita, percaya bahwa isu abadi filsafat ini ―subjek lama yang terus merangsang pemikiran baru―akan terus relevan sepanjang masa. Karena akan selalu ada yang gentar pada ide yang mengusik kemapanan yang telanjur dianggap sebagai kebenaran. Karena akan selalu ada yang takut pada kebenaran. Kita berterima kasih untuk hadiah penting dari penerjemah, salah seorang pemikir terpenting filsafat dan agama di Indonesia dewasa ini
Hamid Basyaib, direktur program The Freedom Institute, Jakarta

Buku ini sangat penting dan cocok dibaca para cendekiawan dan mahasiswa, maupun para pemegang kebijakan dan masyarakat umum di Indonesia. Halnya demikian bukan hanya karena Sokrates, seperti diceritakan Plato, telah mewarisi dunia Barat dan dunia Timur (seperti filsuf Arab Al-Kindi) suatu metode filosofis dan saintifik dialektis antara nalar universal dan indra partikular, antara pemikiran kritis dan pengalaman spiritual, antara pencarian kebenaran dan kesenangan duniawi, dan antara pemikiran individual dan kepercayaan masyarakat kebanyakan, tapi juga karena sang penerjemah dan penafsir tetralogi Plato ini adalah sosok cendekiawan pencari kebenaran, yang meneladani sikap kritis Sokrates yang kini sangat jarang ditemukan di Indonesia

Muhamad Ali, Ph.D., Assistant Professor, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta; kini bertugas sebagai Assistant Professor, Religious Studies Department, University of California, Riverside, Amerika Serikat


Setelah membaca buku sangat berharga buah tangan Ioanes Rakhmat ini, dari pemikiran Sokrates yang hidup sekitar 2350 tahun yang lalu di Yunani saya menemukan sedikitnya tiga hal yang relevan untuk situasi masa kini kita di Indonesia. Pertama, kita perlu belajar dari Sokrates bagaimana berbicara dengan benar dan menghasilkan kebenaran sebagai kesimpulannya. Kedua, kita perlu menyelesaikan segala persoalan yang ada dengan berbicara, dan berbicara dengan benar adalah ciri khas suatu masyarakat madani (civil society) yang dewasa dan beradab. Ketiga, kemampuan untuk berpikir dengan benar dan menghasilkan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari merupakan dasar dari terciptanya karya-karya intelektual yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Berbicara lebih spesifik dalam konteks bidang kajian profesional yang saya tekuni, saya dapat tegaskan bahwa teladan Sokrates dengan cara berpikirnya yang kritis, logis, dan bebas (dari kungkungan prior arts) bisa dijadikan perangsang kinerja otak para pencipta, inventor dan kreator dalam menghasilkan karya-karya baru untuk mengembangkan industri kreatif di Indonesia
Gunawan Suryomurcito, S.H., advokat (non-litigasi) dan konsultan hak kekayaan intelektual, ketua umum Indonesian Intellectual Property Society (IIPS)