Kamis, 28 Juli 2011

Beijing Consensus : Mengapa Tidak ?

Ramai-ramai mengritik “Washington Consensus”, mengapa kita tidak saja memilih “Beijing Consensus”? Sebabnya jelas. “Washington Consensus” – sebagaimana dirumuskan oleh John Williamson – sebetulnya bukanlah konsep untuk pembangunan. Ia adalah konsep yang ditemukan oleh para bankir agar negara pengutang di Amerika Latin membayar utangnya tepat waktu. Cuma, herannya IMF maupun World Bank bersemangat memasarkan “Washington Consensus” ke seluruh dunia, seakan obat mujarab. Yang lebih mengherankan adalah bahwa konsep yang tidak dirancang untuk pembangunan, dipakai oleh IMF dan World Bank di mana-mana di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sebagai resep pembangunan. Tentu saja kebodohan ini harus dibayar amat mahal.


Meraba-raba batu

Cina tidak pernah tergiur dengan “Washington Consensus.” Ia mencoba mencari jalan sendiri, menurut istilah Deng Xiaoping, “meraba-raba batu, menyeberangi sungai” (mozhe shitou, guo he). Cina memang tidak memberinya nama “Beijing Consensus.” Adalah Joshua Coper Ramo dari The Foreign Policy Centre, Inggris, yang menciptakan istilah itu. Nama itu baru muncul pada saat Ramo merumuskannya, pada tahun 2004. Sekali lagi, istilah ini tidak diciptakan oleh pemimpin Cina, melainkan oleh orang luar Cina yang mengagumi apa yang terjadi di Cina.

Bagaimana Cina bisa sampai kepada konsep itu, sulit dilacak karena Cina tidak mempunyai cetak biru pada awalnya. Di antara para pemimpin tertinggi waktu itu malah terjadi pertikaian, diiringi dengan gejolak sosial yang luar biasa. Masing-masing faksi menyatakan bahwa pendapatnya saja yang benar. Di dalam masyarakat muncul demonstrasi dan protes, yang kemudian meledak menjadi “Peristiwa Tian’anmen” pada tahun 1989. Pada saat itu masing-masing faksi saling tuding, dan setelah terjadi peristiwa berdarah itu pemimpin Cina bahkan pernah sampai pada kesimpulan untuk menghentikan reformasi.

Ketika Deng Xiaoping mendobrak dengan pidato-pidatonya selama perjalanannya di Cina selatan pada awal tahun 1992, dia sebenarnya juga tidak mempunyai rencana yang sudah jelas. Satu-satunya yang jelas adalah bahwa Cina harus mencapai taraf xiaokang (hidup pantas) yang diukur dengan angka USD 1000 per kapita pada tahun 2000. Jiang Zemin dan Zhu Rongji berusaha keras menerjemahkan garis besar ini menjadi kebijakan-kebijakan.


Memajukan warga negara

“Beijing Consensus” berbeda dari “Washington Consensus”: kalau yang disebut terakhir ini bertitik tolak dari kepentingan para bankir, maka yang pertama dari keprihatinan akan warganegara. Pemimpin Cina berusaha untuk memajukan warga negaranya yang masih ketinggalan dalam hal pembangunan. Hu Jintao melontarkan rumus: “tiga dekat” (san ge tiejin), dekat dengan realitas, dekat dengan rakyat dan dekat dengan kehidupan. Memang akan terjadi kegoncangan dalam proses mengejar ketinggalan ini, mungkin juga terjadi instabilitas. Tugas pemerintah adalah menahan goncangan ini dan tetap menjaga stabilitas. Termasuk di sini adalah stabilitas kekuasaan Partai Komunis Cina.

Ini tidak berarti bahwa tidak dibuka kemungkinan inisiatif dan kreativitas “dari bawah.” Pemimpin Cina telah mempelajari bagaimana partai tunggal gagal satu demi satu (KMT di Taiwan dan PRI di Mexico), dan tiba pada kesimpulan bahwa harus ada keseimbangan antara pembatasan-pembatasan dan inisiatif individu. Maka sistem pasar tidak dinafikan, tetapi kecenderungan sistem pasar yang mengarah kepada chaos harus dikendalikan secara cermat. Walaupun di Cina di banyak aspek nampak seperti negara kapitalis, tetapi masih menemukan “jejak-jejak” peran negara.

Hal ini berlaku juga bagaimana Cina menyambut globalisasi. Sudah sejak awal reformasinya Cina mengumumkan “keterbukaan” (kaifang), sebuah rumus yang mencerminkan keberanian Cina untuk memasuki globalisasi. Maka masuklah aktor-aktor global ke Cina, dari IMF dan World Bank, juga WTO, sampai semua MNC raksasa. Cina dilanda “Crazy English”, anak-anak sampai orang dewasa ingin mencapai skor 600 dalam TOEFL. Mode pakaian paling mutakhir dan arsitektur Barat di garda depan, semua mendapat sambutan hangat di Cina. Meski demikian, Cina tidak kehilangan kebudayaan dan peradaban Cina yang telah berumur ribuan tahun itu. “Washington Consensus” yang bertujuan menyeragamkan seluruh dunia dalam satu rumus, ditepis oleh Cina. Jangan terkejut kalau Cina menghasilkan rumus: sosialisme dengan ciri khas Cina (you zhongguo tese de shehuizhuyi). Atau yang lebih spektakuler: ekonomi pasar sosialis (shehuizhuyi shichang jingji).


Kombinasi baru

Dengan demikian kita dapatkan beberapa kombinasi yang belum pernah ada: pasar bebas memang, tapi masih ada intervensi negara, perdagangan bebas juga, tetapi masih ada negara, privatisasi perusahaan negara tentu saja, tapi mempertahankan beberapa yang besar, investor asing diundang, tapi jangan masuk terlalu dalam, globalisasi OK, tapi tidak total. Di bidang politik Partai Komunis Cina masih berdiri di atas semua, tapi memberi ruang bergerak bagi warga negara mendekati 100%. Dan sebagainya. Dalam “meraba-raba batu,” Cina menemukan jalannya ke seberang dengan hasil yang spektakuler.

Memang orang mencoba memaksakan “Beijing Consensus” dalam kerangka perdebatan klasik antara “kapitalisme” dan “sosialisme.” Atau, mau memasukkan dalam kerangka “Keynesianism” atau “Third Way.” Tapi orang segera menemukan bahwa usaha itu tidak mungkin dan harus mengakui “Beijing Consensus” adalah sesuatu yang sama sekali baru. Yang sudah kandas dengan kerangka lama, mengapa tidak menoleh ke “Beijing Consensus”?

Sumber: http://forum.detik.com/kemajuan-china-t191567p81.html
“Kompas” 9 Oktober 2006, hlm. 7.

Demokrasi Model China

Sebuah bangsa yang multietnis dengan penduduk lebih dari 1,2 miliar, jika tidak memiliki kepemimpinan yang kuat, akan buyar bagaikan gundukan pasir ketika diterpa gelombang modernisasi. Demikian pernyataan Presiden China Jiang Zemin dalam wawancara dengan New York Times (2001). Menjawab kritik bahwa China antidemokrasi, dia mengutip pendapat Lincoln bahwa inti demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintah China sangat peduli menyejahterakan rakyat.

Rupanya batasan mengenai rakyat antara masyarakat Barat dan China memiliki perbedaan konsep dan aplikasi. Mike Wallace dari televisi CBS pada September 2000 mempertanyakan soal ini kepada Jiang Zemin. ”Mengapa masyarakat Amerika bisa memilih pemimpin nasional mereka, tetapi Anda tampaknya tidak memercayai rakyat China memilih pemimpin nasional Anda?” Jawab Jiang seperti diungkapkan kembali oleh John Naisbitt dan Doris dalam China’s Megatrends (2010), ”Saya juga pemimpin terpilih meski kita memiliki sistem pemilu yang berbeda.”

Jika aktor utama demokrasi adalah rakyat dan tujuan akhir adalah melayani rakyat, maka para elite politik China dapat membanggakan diri bahwa modernisasi China yang dimulai sejak tahun 1978 secara sangat menakjubkan telah berbuat sangat banyak untuk memakmurkan rakyatnya. Dalam jargon ilmu sosial, sistem politik dan ekonomi China saat ini sering disebut sebagai kapitalisme China atau ekonomi pasar sosialis atau ”sosialisme dengan karakter China”.

Dengan ungkapan lain, sekarang tengah berlangsung pergeseran dari perekonomian terencana ke ekonomi pasar yang merupakan ciri masyarakat kapitalis. Dengan pergeseran ini, ruang publik semakin luas dan sesungguhnya bangsa China juga dikenal sebagai bangsa pedagang yang dekat dengan tradisi kapitalisme.

Deng Xiaoping yang dikenal sebagai ”bapak China modern” telah membalikkan paradigma Mao yang ideologis-utopis menjadi empiris-pragmatik. Deng terkenal dengan ucapannya bahwa warna kucing tidak penting—apakah putih ataukah hitam—yang paling pokok adalah dia bisa menangkap tikus. Sikap pragmatik ini juga sangat dirasakan dalam kebijakan dan komunikasi politik yang berusaha mengombinasikan kebijakan top-down dan bottom-up. Pemerintah dan negara tetap kuat mengendalikan politik dan kebijakan ekonomi, tetapi dalam waktu yang sama pemerintah mendorong desentralisasi sehingga rakyat memiliki peluang partisipasi dalam menentukan arah pembangunan serta terjadi kompetisi antarprovinsi.

Masyarakat pembelajar

Sekarang ini membicarakan politik dan ekonomi dunia tidak bisa melepaskan pembahasan tentang China. Menurut Naisbitt, dengan merujuk pendapat Francis Fukuyama, The End of History (1992), AS memandang dirinya sudah menjadi bangsa dan negara yang ideal dalam mengembangkan konsep demokrasi dan humanisme dalam sejarah kemanusiaan. Dia lalu bertindak sebagai polisi dan guru dunia dengan mempromosikan missionary thinking kepada negara-negara lain. Oleh karena itu, politik luar negeri AS sangat impresif dan agresif.

Masyarakat China lebih memilih sebagai masyarakat pembelajar. Mereka belajar dari kegagalan Uni Soviet dalam mempraktikkan ajaran Marxisme-Leninisme dan keberhasilan Barat dalam mewujudkan ideologi kapitalisme, lalu semua itu diadaptasikan kepada sejarah dan tradisi China. Meminjam istilah Naisbitt, dari delapan pilar mewujudkan masyarakat China baru dan modern, pilar pertama yang dilakukan Deng Xiaoping adalah emansipasi cara berpikir.

Pembebasan dan perubahan cara berpikir dan mentalitas warisan Mao yang terbelenggu ideologi komunisme yang ekslusif-konservatif menjadi inklusif dan terbuka. Jadi kaya itu tidak dosa, kata Deng. Sekarang sudah berkembang lagi menjadi kaya ternyata enak dan disegani dunia sehingga China juga dikenal sebagai kapitalisme yang didukung negara.

Ketika Hongkong dikembalikan Inggris ke tangan China (1997), dunia khawatir iklim demokrasi, wirausaha, dan penegakan hukum yang telah begitu kuat akan pudar hanyut ke dalam sistem sosialisme-komunisme. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: berlangsung proses yang amat cepat ”hongkongisasi” China daratan. Hongkong jadi model masa depan bagi seluruh bangsa China yang dibesarkan dalam inkubator kapitalisme, kebebasan berusaha, penegakan hukum, dan kebebasan serta ekspresi pribadi sebagaimana budaya Inggris.

Proses demokratisasi di China rupanya mengambil jalannya sendiri, tidak dilakukan secara gegabah meniru Barat. Negara tetap memegang kendali secara solid, tetapi ruang gerak masyarakat untuk berusaha justru didorong dengan kebijakan desentralisasi daerah. Individu dan masyarakat didorong untuk mengembangkan ”ekonomi inovatif”. Mesin produktivitas China saat ini adalah buruh yang murah, inovasi, dan menggeliatnya kapitalisme dengan pangsa pasar yang sangat besar. Tidak mengherankan bahwa China juga dikenal sebagai tukang bajak kekayaan intelektual terbesar di dunia.

Meski mendatangkan keuntungan besar, barang bajakan dan tiruan akan mengancam China kalau dunia kehilangan kepercayaan. Dunia pun sekarang tengah berspekulasi, ke mana arah kemajuan China, apakah akan mengancam negara lain atau mendorong kemakmuran dan perdamaian dunia. Di dalam negeri sedikitnya masih terdapat sekitar 300 juta petani miskin, sebanyak warga AS. Ini mesti diperhatikan agar tak menjadi bom waktu. Namun, perlu diakui, dalam tiga dekade terakhir China mampu mengentaskan penduduk miskin sedikitnya 400 juta.

Hubungan demokrasi dan ekonomi inovatif sangat erat. Inovasi sebagai buah pikiran bebas, kreatif, dan berisiko selalu dilakukan oleh individu-individu yang hidup dalam alam demokrasi. Inovator semacam Bill Gates dapat muncul karena iklim kebebasan yang ada di AS. Akan tetapi, bangsa China sangat sadar, jika kekebasan dibuka sedemikian lebar seperti di AS, negara itu bisa buyar seperti pengalaman Uni Soviet dan Yugoslavia. Belajar dari negara tetangganya yang sama-sama menganut ideologi sosialisme-komunisme yang ternyata berakhir dengan kegagalan, China mengembangkan konsep demokrasi yang berakar pada sejarah dan tradisi sendiri.

Ke depan, bangsa yang miskin inovasi pasti akan kalah dalam persaingan global. Inovasi akan berkembang apabila pendidikan sebuah bangsa berkualitas, riset maju, dan iklim kebebasan terlindungi sehingga pada urutannya akan menciptakan banyak lapangan kerja dengan produk kompetitif dalam pasar global.


Oleh: Komaruddin Hidayat

Selasa, 12 Juli 2011

MELAWAN DOMINASI BAHASA INGGRIS, MUNGKINKAH?

“Will the English-dominated Internet spell the end of other tongues?”. Begitu tulis Jim Erickson dalam artikel “Cyberspeak: the Death of Diversity”, di Asianweek, 3 Juli 1998.
Dominasi bahasa Inggris di internet memang telah menebarkan kecemasan. Nasib ribuan bahasa di dunia terancam. Tak urung, mantan Presiden Perancis Jacques Chirac, dikutip The Economist, 21 Desember 2006, menyebutnya “a major risk for humanity”, musibah besar bagi kemanusiaan.
Ranka Bjeljac-Babic (2000) lewat artikel “6,000 Languages: An Embattled Heritage” juga mengingatkan bahwa arah menuju penghomogenan bahasa sudah makin terasakan saat ini lewat penyebaran informasi secara elektronis dan sejumlah aspek globalisasi yang lain.
Pertanyaan Erickson, pernyataan Chirac, dan peringatan Bjeljac-Babic boleh jadi mewakili kecemasan sebagian besar masyarakat dunia tentang dominasi bahasa Inggris.
Situasi Indonesia
Di Indonesia kecemasan menyeruak jauh sebelum internet hadir. Sejak tahun 1970-an kecemasan telah terasa seiring dengan gencarnya pengajaran dan makin luasnya pemakaian bahasa Inggris yang terkesan berlebihan. Di pihak lain, bahasa Indonesia belum sepenuhnya mampu menjadi bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Enam ratusan bahasa daerah juga perlu dipikirkan nasibnya. Melalui Praseminar Politik Bahasa Nasional 29-31 Oktober 1974 dan Seminar Politik Bahasa Nasional 25-28 Februari 1975, dihasilkan kerangka dasar “kebijaksanaan bahasa nasional” yang mencakup bidang kebahasaan dan kesastraan.
Sekarang, lebih dari tiga dekade berselang, pemakaian bahasa Inggris makin meluas, terutama di kota-kota. Ruang-ruang publik telah menjadi rimba iklan, penuh tebaran kata-kata “Engdonesia”. Papan-papan nama dan petunjuk juga demikian, sekalipun terkadang konyol. Bukti termutakhir adalah penyebutan “armada bus” transjakarta dengan bus-way (“jalur bus”). Jadilah frase jalur bus-way dengan unsur jalur dan way yang sebenarnya bermakna sama. Bila kereta yang berjalan di atas monorail (rel tunggal) telah beroperasi, bisa jadi kita segera menambah kekonyolan baru dengan mengatakan, “Ayo naik monorail!”
Andre Moeler (Kompas, 4/12/2004) melukiskan bagaimana pelayan hotel di Indonesia menggunakan begitu banyak kata bahasa Inggris kepada tamu Indonesia: “Bayarnya cash atau pake card? Ada voucher untuk welcome drink dekat pool. Ibu bisa facial di beauty salon, dekat river view. Bisa rental VCD lagi di shopping centre sambil refreshing pada grand opening supermarket baru. Di sini kita pake reason ketimbang feeling dan fear, right? Kalau mau check- out, perlihatkan identity card”.
Selain sang tamu tidak memerlukan kata-kata itu, padanannya dalam bahasa Indonesia juga tersedia. Di berbagai negara berkembang—termasuk Indonesia—dominasi makin menjadi-jadi akibat bahasa Inggris dipandang lebih bergengsi.
Beberapa kecemasan
Mengapa dominasi bahasa Inggris perlu dicemaskan? Karena berbahasa tidak hanya perkara mengatakan kepada orang lain sesuatu hal dengan sebuah lambang verbal. Berbahasa adalah berpikir, bahasa adalah pikiran. Bahasa bukanlah entitas otonom, tetapi merepresentasikan pengalaman manusia atas dunia. Itulah yang disebut Halliday (1978) sebagai fungsi ideasional bahasa.
Bahasa apa pun menyediakan perangkat berpikir yang khas. Dengan bahasanya, setiap masyarakat bahasa (language community) mengungkapkan cara berpikir yang unik, otentik, dan mungkin sangat renik.
Bahasa berkaitan pula dengan kebudayaan seperti dihipotesiskan Sapir dan Whorf. Bahasa merupakan cara pandang manusia atas dunia (world-view) secara kolektif-kultural. Atau, menurut Saussure (1916), bahasa (langue) merupakan fakta sosial yang mengatur dan mengendalai perilaku masyarakat.
Karena itu, dominasi bahasa Inggris dalam internet dan apa pun layak dipahami sebagai penyeragaman cara berpikir dan cara memandang dunia. Kekayaan perspektif kultural yang unik, otentik, dan renik bakal terkubur. Keberagaman (diversity) digantikan keseragaman (uniformity). Demikianlah kecemasan Erickson, Chirac, dan Bjeljac-Babic gayut-berpaut.
Kecemasan mereka sebenarnya tidak berhenti sebagai keresahan kultural, tetapi juga politis. Aspek politis dominasi sebuah bahasa atas bahasa-bahasa lain menyangkut hak bahasa dan nasionalisme.
Hak bahasa merupakan kesempatan hidup sebuah atau beberapa bahasa dalam masyarakat multilingual. Hak bahasa berwujud kedudukan dan fungsi yang diberikan oleh masyarakat kepada sebuah atau beberapa bahasa. Dominasi bahasa secara jujur menunjukkan sikap mengistimewakan sebuah bahasa sambil menyisihkan yang lain.
Dominasi bahasa Inggris menarik dilihat dengan kacamata Bakhtin (1986) dan Volosinov (1975). Menurut mereka, setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis. Tanda-tanda kebahasaan merupakan ranah perjuangan kepentingan. Dengan pandangan itu, tidak terbantah bahwa bahasa Inggris merupakan perangkat ideologis globalisasi.
Memfungsikan sebuah bahasa secara dominan melebihi yang lain mencerminkan pula kesetiaan bahasa (language loyalty). Kesetiaan terhadap bahasa nasional dan bahasa negara merupakan wujud nasionalisme. Namun, kesetiaan pada bahasa lain—apalagi bahasa asing—dapat ditafsirkan sebaliknya. Dominasi bahasa asing di sebuah negara menjadi salah satu bukti runtuhnya nasionalisme.
Mungkinkah melawan?
Globalisasi makin melumrahkan perjumpaan antarmanusia dalam pergaulan antarbudaya. Kontak bahasa dan persaingan bahasa pun tidak terhindarkan. Di satu pihak, bahasa Inggris memenangkan persaingan dan mendominasi bahasa-bahasa lain. Di pihak lain, begitu banyak bahasa tersingkir dan terpinggirkan. Bahasa-bahasa dengan jumlah penutur sedikit—apalagi tanpa kesetiaan bahasa—sungguh terancam kepunahan.
Dalam konteks Indonesia, mungkinkah melawan dominasi bahasa Inggris? Jika pengertiannya “menghentikan”, agaknya mustahil, dan memang tak perlu. Namun, jika dimaksudkan untuk menyelamatkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara, jawabnya: mungkin, bahkan sangat mungkin!
Tentu saja diperlukan langkah politis semacam “Politik Bahasa Nasional” tahun 1975. Kebijakan itu termasuk merumuskan (kembali) kedudukan dan fungsi berbagai bahasa demi menciptakan keseimbangan baru antara bahasa Indonesia, bahasa-bahasa Nusantara, dan bahasa-bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Di dalamnya tercakup bagaimana bahasa-bahasa tersebut diajarkan dan dijadikan bahasa pengantar di lembaga pendidikan. UU Kebahasaan diharapkan bisa menjadi jawaban.
Tak kalah penting ialah pemanfaatan internet dan teknologi informasi—termasuk handphone—untuk pelestarian bahasa-bahasa daerah, terutama yang penuturnya minim dan tidak memiliki tradisi tulis. Alih-alih menebarkan kematian, internet (dan teknologi informasi) justru menjadi malaikat yang mengembuskan napas kehidupan bagi bahasa-bahasa Nusantara yang sekarat. Gagasan ini tidak sulit dilaksanakan. Internet (dan handphone) dapat diperankan untuk membangkitkan dan merekam penggunaan bahasa-bahasa Nusantara.
Bukankah John Naisbitt (1994) mengisyaratkan, selalu hadir paradoks global? Internet dan dominasi bahasa Inggris pasti memiliki paradoksnya. Dalam paradoks itulah tersedia ruang hidup bahasa-bahasa lain.

Sumber: P. Ari Subagyo Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Kandidat Doktor di FIB UGM

Jumat, 08 Juli 2011

Amerika Serikat Bukan Peradaban Terakhir

Peradaban itu hidup dan akan selalu berpindah-pindah….

Peradaban manusia berkembang dan akan terus berkembang selalu, berubah, berpindah dan akan terus selalu berpindah. Perang Dunia I berakhir, disambung Perang Dunia II. Dengan segala kelapangannya, kubu-kubu yang berseteru dalam Perang Dunia II membuka diri untuk menghentikan peperangan, kemudian pemimpin negara tersebut segera mengambil jalan damai dengan lawannya, sehingga meja perundingan dan harapan perdamaian bisa terwujud.
Dalam sejarah ini bisa dilihat bahwa sebenarnya berakhirnya Perang Dunia II, disepakati oleh semua pihak, dan terwujud bukan karena kekuatan dan kehebatan Sekutu mengalahkan lawannya, tetapi semangat dari semua pihak yang terlibat dalam perang untuk memulai mengakhiri peperangan yang sudah memakan jutaan korban. Bisa diasumsikan, jika semua pihak yang terlibat dalam perang tidak membuka diri untuk berdamai, dengan tindakan apa yang digembar-gemborkan dan dinamakan Sekutu sebagai ungkapan “menyerah”, maka sampai saat ini peperangan masih berlangsung dan akan terus berlangsung, sebanyak apapun bom nuklir dimiliki suatu negara.
Kondisi terjadinya publikasi yang menyebutkan bahwa kemenangan dalam Perang Dunia II diraih oleh Sekutu inilah yang sudah mempengaruhi banyak pemikir termasuk Francis Fukuyama, dengan bukunya The End of History and the Last Man (1992). Dari gema di dunia internasional bahwa Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat disebut sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, mendudukkan Amerika Serikat sebagai negara Super Power, yang dari status ini akhirnya mengembang informasi baku bahwa Amerika Serikat menjadi penggerak Demokrasi Liberal versi Barat (Amerika Serikat) mencapai apa yang dinamakan oleh Fukuyama sebagai akhir dari peradaban manusia.
Pemikiran Fukuyama dalam The End of History and the Last Man, lebih besar dipengaruhi keberhasilan menggaungkan status kemenangan bagi Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, kemudian diteruskan dengan tumbangnya rezim komunis. Maka bertambahlah “fakta” yang mendukung pemikiran Fukuyama ini, di mana seolah-olah tumbangnya Komunisme di Uni Sovyet, karena kekuatan Amerika Serikat.
Uforia itu subur dalam mindset Fukuyama, sehingga berkembang pemikiran bahwa setelah era dominasi peradaban Barat, maka tidak ada lagi peradaban lain, dengan sistem pemikiran dan kehidupan yang berbeda dengan peradaban Barat. Ketika itulah manusia sudah bersepakat untuk menerapkan Demokrasi Liberal, yang Era ini merupakan akhir sejarah (the end of history).
Dalam bahasa lain, maka tidak ada lagi peradaban setelah peradaban barat yang saat ini dimotori oleh Amerika Serikat, sehingga meletakkan Amerika Serikat dalam posisi sebagai kekuatan tunggal yang tidak dapat runtuh.
Sebagaimana terekam perjalanan sejarah, bahwa maju mundurnya sejarah peradaban suatu bangsa berkait erat dengan kekuatan militer bangsa tersebut. Siapa yang memiliki kekuatan perang yang kuat, akan mampu untuk mempertahankan diri dari serangan peradaban lain yang lebih kuat. Dengan buku tersebut, terbaca bahwa pemikiran Fukuyama sudah berakhir, menghentikan penelitian-penelitian lanjut, dan kurang menyadari bahwa perjalanan sejarah akan terus berlangsung. Tidak ada yang akan abadi memegang kekuasaan peradabannya. Pada masanya nanti, peradaban Amerika Serikat juga akan mengalami hal sama dengan yang dialami oleh imperium-imperium di masa lalu, kehancuran dan perpindahan kejayaan.

Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/Francis_Fukuyama
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/06/24/lnavdk-jelang-pensiunan-menhan-as-curhat
http://newcaliphateorder.wordpress.com/2011/05/22/akhir-peradaban-barat/
http://ruang-ihsan.blogspot.com/2008/12/end-of-history-atau-end-of-west.html

STRATEGI ASEAN COMMUNITY DALAM MENJAMIN STABILITAS LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

ABSTRACT

This paper purpose to analyze roles of ASEAN Community for esuring environmental sustainability. Throughout the process, the paper also aims to elaborate the nexus between the discourse of ASEAN’s regionalism and environmental issues. Thus, ASEAN need to solve global environmental problems such as climate change so that regionalism could stabilize and create global environmental governance. One concrete solution which would be made is ASEAN’s ecology.

Recently, ASEAN Community has been ratified two years ago. Facing from Viantiane Convention in 2007, the time that ASEAN targeted for realizing ASEAN Community is 2015. For six years more, ASEAN actually has shown better regional cooperation, especially integrative regionalization. This kindly progress would strengthen more strategic aspects for saving the environment, combating the climate change problem. The concept of ASEAN’s ecology could be a leader to spread more regional ecology, which would be emerge into global ecology. Because of the dense population, ASEAN has added value to empower human resource development by living and thinking green. This index still can comparable with other regional organisation, even can correlate with Asian Pacific. Hence, the progressive regionalism of ASEAN could be increased from strategic concepts of ASEAN Community.

Key words : ASEAN Community, environmental sustainability, climate change problem, integrative regionalization, and ASEAN’s ecology


Pendahuluan

Perubahan Iklim : Ancaman Menuju Keamanan Kolektif dan Inisiatif dalam ASEAN Community. Perubahan iklim merupakan salah satu dampak nyata dari fenomena pemanasan global. Secara historis, perubahan iklim telah menjadi isu utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil, sejak tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21, yang terinsipirasi dari Protokol Kyoto tahun 1997 (kesepakatan global pertama kali mengenai perubahan iklim). Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada tahun 2030, sejumlah 2000 pulau akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut sebagai akibat pemanasan global.(Armely Meiviana: 2004) Seperti yang dikatakan oleh Kemal Dervis (Petugas UNDP) dalam pernyatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2007 :
“…Bagi penduduk miskin, perubahan iklim merupakan masalah hidup dan mati. Ini merupakan tantangan lingkungan, serta salah satu ancaman terhadap pembangunan manusia. Bagaimana kita sebagai masyarakat dunia beradaptasi dengan hal ini, meredakan percepatannya dan bertanggung jawab atas resiko strategi pembangunan menjadi faktor penting dalam kemajuan pembangunan, termasuk usaha mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG)...”
(http://www.undp.or.id/pubs/docs/ANN%20REP%20UNDP%20ID.pdf, diakses tanggal 15 Juni 2009).

Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul itikad baik dari Association of South East Asian Nations (ASEAN) dengan tujuan untuk menjamin stabilitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Dengan mewujudkan ASEAN Community 2015, ASEAN telah berjalan semakin mantap untuk menentukan arah dan tindakan tepat bagi keselamatan lingkungan hidup. Sesuai dengan tiga pilar utamanya berupa : ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-cultural Community, upaya penyelamatan lingkungan hidup yang bersumber pada fenomena perubahan iklim telah dicantumkan secara mendasar ke dalam setiap program tersebut. Dengan demikian, ancaman lingkungan yang terjadi dalam perubahan iklim telah ditransformasi secara positif menjadi langkah inisiatif dan kolektif dari setiap negara anggota ASEAN. Yang menjadi rumusan masalah ialah :
1. Mengapa isu lingkungan hidup menjadi acuan utama dalam program ASEAN Community?
2. Sejauh mana ASEAN Community mampu mengupayakan strategi-strategi dalam menjamin stabilitas lingkungan hidup?
3. Bagaimana dampak stabilitas lingkungan hidup ASEAN Community terhadap regionalisme ASEAN di masa depan?


Kronologi ASEAN Community

Sudah hampir 42 tahun ASEAN berdiri. Organisasi yang berada di kawasan Asia Tenggara ini terbentuk sejak tanggal 8 Agustus 1967, yang memiliki 10 negara anggota (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam).

Anggota ASEAN Tanggal
Brunei Darussalam 8 Januari 1984
Kamboja 30 April 1999
Indonesia 8 Agustus 1967
RRD Laos 23 Juli 1997
Malaysia 8 Agustus 1967
Myanmar 23 Juli 1997
Filipina 8 Agustus 1967
Singapura 8 Agustus 1967
Thailand 8 Agustus 1967
Vietnam 28 Juli 1995
Tabel 1. Data Anggota ASEAN dan Tanggal Bergabung
Sumber: http://www.13theaseansummit.sg/asean/index.php/web/documents/documents/aseaneconomic_blueprint, diakses tanggal 20 Juni 2009

Pada saat KTT Bali Concord II tahun 2003 diadakan, terbesit visi 2020 yang pada akhirnya memunculkan konsep Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Aspek ekonomi, politik-keamanan, dan sosial-budaya yang menjadi pilar utama komunitas ASEAN telah disepakati setiap negara anggota untuk direalisasikan melalui Rencana Aksi (Plan of Action) dalam KTT ASEAN 10 di Viantiane, Laos, tahun 2004. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada saat pertemuan ASEAN di Cebu, Filipina 2007, pencapaian komunitas ASEAN semakin kuat dan stabil dengan hadirnya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”. Dengan kata lain, jangka waktu realisasi komunitas ASEAN telah dipercepat, dari tahun 2020 menjadi 2015. (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf,diakses tanggal 20 Juni 2009).
Perkembangan ASEAN Community semakin jelas terlihat dengan adanya piagam ASEAN. Landasan konstitusional ASEAN yang baru saja terbentuk pada tahun 2007 ini mencerminkan bahwa ASEAN telah memiliki status hukum yang sah dan mendapat legitimasi dari setiap kalangan masyarakat Asia Tenggara. Jika dikaitkan dengan perspektif teoritis Andrew Hurrel, berdirinya ASEAN Community telah mencapai kriteria akhir, yakni regional cohession.(Andrew Hurrel : 2002) Empat kriteria sebelumnya seperti : regionalization, regional awareness and identity, regional inter state cooperation, sampai state promoted regional integration telah dicapai karena kebijakan regional ASEAN mampu meletakkan fungsi-fungsi kohesivitas dan integrasi secara menyeluruh. Berdasarkan pada Piagam ASEAN pasal 11, ASEAN Community berusaha meningkatkan pondasi kohesif pada regionalisme ASEAN di mana kesadaran terhadap integrasi, identitas regional, dan solidaritas telah ditanamkan bersama melalui interkasi kumulatif. (http://www.aseansec.org/10371.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009). Adanya prasayarat untuk memprioritaskan kesadaran untuk bekerjasama dan saling menghormati mampu menjadi prinsip kuat ASEAN Community dalam membangun karakter komunitas, pemerintah, maupun masyarakat sipil.

Alasan mendasar komunitas ASEAN memilih program lingkungan hidup sebagai salah satu acuan utama dalam kebijakan regional ialah adanya keinginan utama ASEAN untuk menjadi kawasan yang bersih dan hijau, dengan mengacu prinsip-prinsip mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan serta melakukan pengelolaan sumber daya alam secara lestari. (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2009) Dengan adanya visi tersebut, ASEAN semakin kokoh dalam membentuk program-program penyelamatan lingkunga hidup, khususnya mengenai kawasan hutan di Asia Tenggara. Mengingat bahwa hutan di Asia Tenggara termasuk salah satu paru-paru dunia, maka penting sekali untuk dijaga dan dilindungi secara maksimal tanpa menyebabkan kasus kejahatan lingkungan lintas batas seperti kabut asap yang terjadi di Kalimantan sejak tahun 1997.

Strategi ASEAN Community dalam menjamin stabilitas lingkungan yang berkelanjutan
Secara formal, kerjasama ASEAN di bidang lingkungan hidup dimulai sejak tahun 1978, ditandai dengan dibentuknya ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE) di bawah Committee on Science and Technology (COST). Pembentukan wadah tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerjasama yang sudah dirintis sejak tahun 1971 melalui Permanent Committee on Science and Technology. AEGE diberi mandat untuk mempersiapkan ASEAN Environmental Programme (ASEP). Seiring dengan makin meluasnya lingkup kerjasama lingkungan hidup di kawasan ASEAN, pada tahun 1990 dibentuk ASEAN Senior Officials on the Environment (ASOEN) yang mengandung enam Kelompok Kerja:
a. Penanganan Polusi Lintas-Batas;
b. Konservasi Alam;
c. Lingkungan Hidup Kelautan;
d. Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e. Ekonomi Lingkungan; dan
f. Informasi Lingkungan, Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Publik.
(http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, akses 20-6-2009)


Mekanisme konsultasi formal yang dipergunakan negaranegara ASEAN untuk membahas masalah-masalah lingkungan tidak hanya terbatas pada ASOEN saja tapi juga Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan (ASEAN Ministerial Meeting on Environment/AMME).
Setiap pilar ASEAN Community telah membahas agenda penyelamatan lingkungan hidup. Sesuai dengan kaidah masing-masing pilar, lingkungan hidup mampu menjadi acuan program mereka, antara lain:
1. ASEAN Security Community  Kerjasama di Bidang Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara.
Kerjasama ASEAN dalam rangka memberantas kejahatan lintas negara (transnational crime) pertama kali diangkat pada pertemuan para Menteri Dalam Negeri ASEAN di Manila tahun 1997 yang mengeluarkan ASEAN Declaration on Transnational Crimes. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi di atas, kerjasama ASEAN dalam memerangi kejahatan lintas negara dilaksanakan melalui pembentukan Pertemuan Para Menteri ASEAN terkait dengan Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime/AMMTC). Kasus kabut asap di daerah Kalimantan dan Sumatra merupakan salah satu kejahatan transnasional dalam bidang lingkungan hidup. Kebakaran hutan yang mampu mengganggu keamanan negara lain (Malaysia dan Singapura) ini mulai didengungkan oleh media secara regional sejak tahun 1997. Dalam periode 1-30 Juli 2006, berdasarkan Data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer, di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api, yang terdiri dari: lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan perkebunan (20,79%). Karena adanya polemik yang sengit antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura, maka ASEAN turut menyelesaikan sengketa mereka dengan dibentuknya ASEAN Haze Technical Taks Force; Sub-Regional Fire Fighting Arrangements; ASEAN Regional Haze Action Plan (ARHAP); dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada tahun 1990.
2. ASEAN Economic Community  bidang pangan, pertanian, dan kehutanan
Kerjasama lingkungan hidup yang dilakukan ASEAN dalam ranah ASEAN Economic Community mencakup sektor komoditi dan sumber daya alam, seperti : sektor pangan, kehutanan, dan pertanian. Tujuan diadakan kerjasama tersebut ialah menambah daya saing produk pangan dan kehutanan, meningkatkan food security agreement, dan meningkatkan posisi ASEAN dalam forum internasional. Forum kerjasama yang telah dibentuk ialah ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF). AMAF didukung oleh Task force dan expert groups yang bertugas untuk menentukan rencana implementasi kegiatan dalam periode waktu tertentu. Dalam rangka pengimplementasian Ha Noi Plan Action (HPA) di bidang pertanian, pangan dan kehutanan, para Pemimpin negara-negara ASEAN pada tahun 1998 telah menyetujui dokumen Strategic Plan of Action Cooperation in Food, Agriculture, and Forest for the 1999-20041. Rencana aksi tersebut kemudian direview kembali pelaksanaannya pada 2004 sekaligus dilanjutkan dengan Strategic Plan of Action Cooperation in Food, Agriculture, and Forest for the 2005-2010. (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2009)
3. ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC): Tujuan ASEAN Socio-Cultural Community mencantumkan agenda lingkungan hidup ialah mendorong terciptanya kawasan ASEAN yang bersih dan hijau (to create a clean and green ASEAN) serta menjamin kelangsungan proses pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Karena adanya sentuhan humanistik dan kultural, ASCC memasukkan 11 sub elemen ke dalam program lingkungan hidup, yakni :
D1. Addressing global environmental issues
D2. Managing and preventing transboundary environmental pollution / Managing transboundary haze and other environmental pollution
D3. Promoting sustainable development through environmental education and public participation
D4. Promoting Environmentally Sound Technology (EST)
D5. Promoting quality living standards in ASEAN cities/urban areas
D6. Harmonizing environmental policies and databases
D7. Promoting the sustainable use of coastal and marine environment
D8. Promoting Sustainable Management of Natural Resources andBiodiversity
D9. Promoting the Sustainability of Freshwater Resources
D10. Responding to Climate Change and addressing its impacts
D11. Promoting Sustainable Forest Management (SFM)
(slide power point dalam Seminar Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN tanggal 10 September 2008)

Ekologi ASEAN : Wacana baru ASEAN Community dan Implementasinya terhadap Ketahanan Lingkungan Hidup.
Sebagai organisasi regional yang cukup mantap, ASEAN Community merupakan bentuk konkrit dari regionalisme Asia Tenggara yang semakin integratif. Dalam menciptakan stabilitas lingkungan hidup yang berkelanjutan, perlu dibentuk suatu komunitas khusus di ASEAN yang disebut dengan ekologi ASEAN. Konsep ekologi ini diperkuat dengan adanya asumsi perspektif atau teori lingkungan hidup yang bernama ecocentrism atau deep ecology system. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949).

Selain itu, pembangunan ekologi ASEAN harus didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang mengkorelasi aspek ekologis (tanggung jawab lingkungan hidup), sosial (nilai dan norma yang berlaku), dan ekonomi (keuntungan bisnis yang mutualis). Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)

Ekologi ASEAN merupakan ide baru yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap keamanan lingkungan global, terutama menunjukkan posisi Asia Tenggara di mata internasional. Strategi ini bukan hanya merupakan wacana saja, tetapu lebih merupakan landasan konkrit dan teknis untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan terhindar dari efek pemanasan global. Ekologi ASEAN dapat terbentuk jika setiap masyarakat ASEAN memiliki kesadaran tinggi terhadap keanekaragaman hayati yang satu, berada dalam iklim yang sama, dan menikmati udara yang sama. Kesatuan inilah yang nantinya dapat dijadikan teladan positif bagi kawasan lain, sehingga akan menimbulkan efek terbentuknya ekologi global (bersatunya ekologi setiap kawasan). Dengan demikian, tantangan ASEAN untuk menjadi lembaga regional semakin besar untuk menunjukkan adanya spirit untuk bekerjasama dan memiliki rasa nasionalisme secara regional, yakni nasionalisme ASEAN (imagined communities).

Untuk mendukung konsep ekologi ASEAN, prinsip yang tak jauh berbeda dengan ASEAN Community pun sinkron dengan konsep ECO-Community. ECO-community merupakan sebuah komunitas ekologis yang bisa diterapkan secara regional. Di kalangan Asia Tenggara, setiap pengambil kebijakan negara dapat membentuk beberapa komunitas ekologis yang dapat mempercepat pembangunan lingkungan hidup secara stabil dan berkelanjutan. Aktor yang menjalankan komunitas inn beragam, tak menutup diri dari golongan apa pun serta bergerak ke ranah yang lebih sosial (pergerakan masyarakat). Hal ini dimaksudkan untuk memperluas jaringan pengambil keputusan ASEAN, tidak hanya berasal dari kalangan elite politik tetapi juga dari pemuda, pebisnis, buruh, dan anggota masyarakat lainnya. ECO-Community dapat berjalan baik jika diberlakukan aturan atau norma kolektif untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan, seperti misalnya : penggunaan perabot daur ulang, pembangunan rumah dengan ventilasi yang banyak (tanpa menggunakan AC), pengelolaan sampah mandiri di setiap rumah tangga, dsb. Tatanan masyarakat yang berlaku harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan latar belakang kehidupan mereka. Semakin besar pertumbuhan ECO-Community, semakin kuat pula efektivitas dan efisiensi yang dihasilkan ekologi ASEAN.

Tantangan Regionalisme ASEAN di Masa Depan

Data yang terambil dari Asian Development Bank ini menunjukkan generalisasi perkembangan negara di dunia berdasarkan PDB (produk domestik bruto). Jika dilihat secara populasi, Asia Tenggara yang termasuk dalam benua Asia memiliki keunggulan dalam kepadatan penduduk, dengan jumlah 3,112 miliar pada tahun 2005 dan diprediksikan tahun 2020 sebesar 3,515 miliar. Analisis yang didapat dari data tersebut terbagi menjadi dua segi : segi positif dan negatif. Secara positif, tingkat kepadatan penduduk dan angka pertumbuhan yang tinggi mampu meningkatkan persaingan daya beli secara global. Artinya, tingkat konsumsi di daerah Asia jauh lebih banyak daripada Eropa atau Amerika. Hal ini terlihat dari jumlah paritas daya beli Asia mencapai US $ 15,514 miliar pada tahun 2005 dan US $ 32,120 miliar pada tahun 2020. namun, keberhasilan ini tidak selamanya mendatankan keuntungan bagi kemakmuran mereka. Walaupun secara kuantitatif Asia menang dalam kependudukan, PDB per kapita Eropa dan Amerika lebih unggul, yakni mencapai US $ 18 miliar dan US $ 19 miliar di tahun 2005. Maka, tak mengherankan bila upah tenaga kerja di Asia jauh lebih rendah (murah) ketimbang tenaga kerja AS dan Eropa yang secara jumlah lebih sedikit.

Secara spesifik, jika dilihat angka PDB di Asia Tenggara, negara pendiri ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina mampu memberikan kontribusi tinggi bagi tingkat PDB di Asia. Total penduduk kelima negara tersebut di tahun 2005 bekisar 400 juta jiwa, sedangkan total penduduk di Asia Tenggara mencapai 502,4 juta jiwa. Berarti, presentase penduduk Asia Tenggara merupakan 16% dari seluruh penduduk Asia, angka yang cukup baik bagi pembangunan Asia yang berkelanjutan. Dikaitkan dengan pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan, masyarakat ASEAN mampu memberikan nilai-nilai positif berupa semangat untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Semakin banyak orang sadar lingkungan, semakin cepat tingkat pencegahan terhadap bahaya perubahan iklim. Regionalisme di Asia Tenggara pun akan berkembang semakin baik dalam kinerjanya mengupayakan penyelamatan lingkungan hidup. PDB mampu mempengaruhi tingkat kohesifitas dan integritas masyarakat ASEAN terhadap stabilitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Meskipun ASEAN belum termasuk kategori regionalisme yang utuh dan kuat seperti Uni Eropa, tak menutup kemungkinan bahwa Asia Tenggara memiliki daya kompetitif lebih maju dibandingkan regionalisme di Asia lainnya. Dengan dibangunnya komunitas ASEAN 2015, maka kawasan Aisa Tenggara semakin menunjukkan potensi regional yang mampu memberi keuntungan positif bagi regionalisasi dunia. Integrasi dan kohesi regional yang tercipta tak lepas dari area kerjasama dan intensitas hubungan ASEAN dengan kawasan lain. Untuk dapat menganalisis struktur regionalisme ASEAN dan implikasi hubungan eksternalnya, perlu mempelajari peta forum regional dan transregional Asia yang tertera dalam diagram 10 : arsitektur ekonomi.

Bagan yang tertera dalam diagram 10 menggambarkan kerangka sistematis kerjasama regional ASEAN (sebagai inti) dengan regionalisasi Asia lainnya. Analisis yang dapat dinilai dari kerangka tersebut bersumber dari teori regionalisme : teori level domestik dan interdependensi. (Andrew Hurrel : 2002) Teori level domestik biasa disebut dengan teori konvergen, di mana negara berperan sebagai aktor utama (core actor). Setiap kebijakan yang diambil oleh negara tertentu, akan ditransformasi dan disinkronisasi dengan kebijakan negara lain yang ada dalam suatu kawasan.

Di dalam kawasan Asia Tenggara, ASEAN berupaya untuk menjembatani langkah-langkah aktif dari setiap negara anggotanya dalam menunjang kadar atau nilai integrasi regional yang terjalin. Setelah memperkuat struktur dan koneksivitas secara internal, ASEAN juga memperkuat jaringan kerjasama dengan negara Asia lainnya, seperti yang tertera dalam bagan (ASEAN +3, EAS, SAARC, dll). Kontribusi penting dari ASEAN yang berpengaruh terhadap kerjasama eksternal (India, Cina, Jepang, Korea Selatan) ialah kawasan hujan tropis di Asia Tenggara yang berjumlah 16% dari total hujan tropis dunia. (http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/greenpeace-melindungi-hutan, diakses tanggal 18 Juni 2009).

Dalam pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan, hutan tropis berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim, mengatur tersedianya pasokan air dan memelihara ekosistem termasuk manusia. Sekitar 150 juta masyarakat adat tinggal dan bergantung pada hutan, mereka harus mendapatkan masa depan yang terjamin, sehingga mereka dapat tetap menjaga hutan.

Teori interdependensi juga tak kalah penting dalam hubungan regional dan transregional ASEAN. Sebagai salah satu kawasan yang termasuk Macan Asia, ASEAN memiliki relasi sinergis dengan kawasan lain, tak terkecuali dengan Uni Eropa, AS melalui pertemuan ASEM atau APEC. Ketergantungan yang dicapai ASEAN dan kawasan eksternal memiliki interaksi dinamis dan strategis karena ketersediaan sumber daya (baik alam maupun manusia) terjangkau. Namun, kendala yang mungkin dapat menjadi titik kritis dinamika hubungan mereka adalah kemampuan untuk mempertahankan efektivitas dan keseimbangan kerjasama. Artinya, sistem tumpang tindih ekonomi, kesenjangan sosial, penyebaran poopulasi yang tidak merata mampu mempengaruhi kredibilitas dan kapabilitas setiap kawasan. Dampak yang perlu dihindari yaitu niat dan kepentingan pribadi negara tertentu dalam menghegemoni atau mengeksploitasi kekayaan negara lain, atau bahkan kawasan lain.

Integrasi yang terjalin antar negara anggota ASEAN tidak menutup kemungkinan adanya afiliasi dari satu kawasan dengan kawasan lainnya (Asia Timur, Asia Selatan,Asia Tengah, Eropa, dan Amerika). Namun, pengendalian sistem pemerintah regional perlu dikembangkan secara optimal, khususnya kebijakan mengenai pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Stabilitas ekologis yang terbentuk dalam ekologi ASEAN senantiasa memberikan peluang dan tantangan Asia Tenggara dalam menjamin pembangunan paru-paru dunia dan meyakinkan masyarakat internasional untuk peduli terhadap lingkungan.

Kesimpulan
Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan strategis karena kekayaan alam dan jumlah tenaga kerja sangat berlimpah dan beraneka ragam. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global pun turut mengancam keberadaan mereka sehingga ASEAN turut mencantumkan isu pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan dalam visi ASEAN Community 2015. Dengan hadirnya ASEAN Community 2015, kesejateraan dan keselamatan lingkungan hidup lebih terjamin, ekologi ASEAN pun dapat tercapai, dan posisi kawasan Asia Tenggara pun semakin diperhitungkan bagi kawasan transregional (Uni Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur,dsb).

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hurrell,Andrew. Regionalism in Theoretical Perspective eds. Fawcett, Louise, and Andrew Hurrell. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University Press. pp 37-73
Masripatin, Nur. Apa Itu REDD(Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation in Developing Countries)? 2008, diakses melalui Laporan UNFCCC 2008 : COP-13 decision on REDD
Meiviana, Armely dkk. Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. 2004. Jakarta : Pelangi
Salim, Emil. “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan. 2003. Jakarta
Taylor, Paul W. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. 1998 New Jersey : Princenton Press University. page. 13

Internet
http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, ASEAN Selayang Pandang, DIrektorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://www.13theaseansummit.sg/asean/index.php/web/documents/documents/aseaneconomic_blueprint, ASEAN (2007). ASEAN Economic Community Blueprint, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://www.gp-ansor.org/berita/negara-asean-diminta-cari-solusi-atasi-asap.html, Negara ASEAN Diminta Cari Solusi Atasi Asap. 13 Oktober 2006, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://haze.asean.org/news/1024040565/back=media/ASEAN+SIGNS+AGREEMENT+TO+TACKLE+, ASEAN Signs Agreement to Tackle Haze, Environment Division of ASEAN Secretariat. 14 Juni 2002, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://aric.adb.org/emergingasianregionalism/pdfs/KRA%20Indonesia.pdf, Kebangkitan Regionalisme Asia : Kemitraan Bagi Kemakmuran Bersama. 2008. Asian Development Bank, diakses tanggal 18 Juni 2009
http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/greenpeace-melindungi-hutan, Melindungi hutan dapat mencegah perubahan iklim - ASEAN harus segera bertindak, 1 Maret 2009, diakses tanggal 18 Juni 2009
http://www.aseansec.org/10371.htm, ASEAN Declaration on Environmental Sustainability. 20 November 2007, diakses tanggal 17 Juni 2009
http://www.undp.or.id/pubs/docs/ANN%20REP%20UNDP%20ID.pdf, Laporan Tahunan edisi 2007.Lingkungan Yang Berkelanjutan. diterbitkan oleh United Nations Development Programme. Juni, 2008. hal 12-15, diakses tanggal 15 Juni 2009

Senin, 04 Juli 2011

Mengintip Struktur Jaringan Teroris Jamaah Islamiah

Peta kekuatan organisasi teroris di Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina dimotori oleh konfederasi orgnisasi islam radikal bernama Jamaah Islamiah. Meski belum terbukti, sumber intilejen mempercayai Jamaah Islamiah didirikan pertama kali oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir.

Sebagai jaringan teroris internasional, JI juga dipercayai mempunyai hubungan dan afiliasi yang erat dengan Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Misi JI adalah mendirikan negara kekalifahan Islam di Asia Tenggara, meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, dan Kamboja.

Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dalam konferensi persnya di Mabes Polri, Jumat (24/9/2010) mengumumkan soal sepak terjang JI dalam aksi teror di Indoensia selama 10 tahun terakhir. Kapolri memaparkan soal skema struktur organisasi JI dan siapa-siapa saja pimpinannya dalam 10 tahun terakhir.

Jamaah Islamiah, dipimpin oleh seorang Amir yang berkedudukan di Markaz atau markas. Polisi meyakinii bahwa sebelum ditangkap Abu Bakar Baasyir adalah Amir JI. Selain Amir, Markaz diisi pimpinan seperti Askari (Panglima Perang), PLH Amir, Regional Shura atau dewan penasihat dan BP Markaziyah. Hambali, sebelum ditangkap pada 11 Agustus 2003, pernah menjabat dewan penasihat Markaz JI. Hambali punya peran sebagai penghubung ke jaringan teroris Internasional seperti Al Qaeda dan Abu Sayaf.

Organisasi JI punya beberapa Mantiqi yang tunduk pada Markaz dalam menjalankan aksi terornya di Asia Tenggara. Ada empat mantiqi.

Mantiqi Ula atau Mantiqi I meliputi wilayah Singapura dan Malaysia. Nama Muklas alias Ali Gufron terpidana mati Bom Bali I pernah menjadi pimpinan Mantiqi Ula atau I.

Mantiqi II atau biasa disebut dengan nama Mantiqi Sani. Jaringan inilah yang cukup progresif menjalankan aksi terornya. Sebagian Wilayah Indonesia bagian barat dibawahai oleh Mantiqi II.

Untuk Mantiqi II, Mabes Polri berhasil memetakan kekuatan struktur organisasinya. Matiqi II membawahi delapan Wakalah atau organisasi JI tingkat provinsi. Ada wakalah Sumbagut, Pekanbaru, Lampung, Jabotabek, Jabar, Surakarta, Jateng dan Jatim.

Wakalah-wakalah ini masih membawahi lagi yang namanya Khatibah atau organisasi setingkat kota. Khatibah membawahi Qirdas. Dibawah Qirdas ada yang namanya Fiah atau kelompok kecil.

Mantiqi III atau biasa disebut dengan nama Mantiqi Tahlid meliputi wilayah Mindanao, Sabah, Kaltim dan Sulawesi. Sama seperti Mantiqi lainnya Mantiqi ini juga membawahi Wakalah, lalu Khatibah dan Qirbas. Nasir Abas pernah menjadi pimpinan Mantiqi ini. Mantiqi ini pernah sangat solid dalam aksi teror di poso dan pernah membentuk laskar Uhud.

Mantiqi terakhir adalah Mantiqi IV atau Mantiqi Ukhro. Mantiqi ini meliputi wilayah Australia.

Khusus untuk jaringan terorisme di Sumut, yang melancarkan aksi perampokan dan pelatihan militer di Deli Serdang seluruh organisasi teroris dibawah Mantiki II bersatu. Mereka mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok atau Fiah. Ada enam kelompok yang saling bertautan.

Kelompok Boss Medan yang terdiri dari 7 Anggota. Ada kelompok Belawan pimpinan Wak Geng alias Marwan yang berperan merampok untuk mencari senjata. Kelompok Lampung yang diisi Abah alias Jhonson dan Bawor yang bertugas membeli senjata dari dana hail rampokan. Kelompok Pekanbaru ditambah Kelompok Solo dan Kelompok Jabar yang dipimpin Jaja Miharja. (Wira)


Editor: Prawira Maulana
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com

Minggu, 03 Juli 2011

THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN - Francis Fukuyama

The End of History and the Last Man adalah sebuah buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama (1992). Buku ini merupakan perluasan esai yang ditulisnya pada tahun 1989. “The End of History”, diterbitkan oleh The National Interest. Dalam buku ini Fukuyama berpendapat bahwa munculnya demokrasi liberal Barat dapat merupakan pertanda titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk akhir pemerintahan.
Ringkasan tesisnya adalah: “Apa yang kita dapat saksikan tidak hanya akhir Perang Dingin, atau lulus dari suatu periode tertentu dari sejarah pasca-perang, tetapi akhir sejarah itu sendiri, yaitu titik akhir dari evolusi ideologis manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final pemerintahan manusia”.Banyak orang melihat tesis Fukuyama bertentangan dengan versi Karl Marx tentang “akhir prasejarah”. Beberapa ahli juga mengidentifikasi filsuf Jerman G.W. Friedrich Hegel sebagai sumber bahasa Fukuyama, namun disajikannya dengan gaya Alexandre Kojève, yang berpendapat bahwa kemajuan sejarah harus menuju ke arah pembentukan negara yang universal dan homogen.

Menurut Kojeve sendiri, kemungkinan terbesar akhir sejarah adalah menggabungkan elemen demokrasi liberal atau sosial, tetapi Kojeve memberi penekanan pada karakter pasca-politik sebagai penyebab keadaan tersebut. Tetapi tentu saja ada resiko, kalau dibuat perbandingan seperti itu tidak akan memadai, dan hanya akan mereduksi setiap kemenangan dari pihak kapitalisme saja.

Tesis Fukuyama berisi beberapa elemen: Pertama, Argumen politik: yakni bahwa semua perang melalui sejarah adalah bentrokan antara dua sistem politik yang bersaing. Maka sebagai bangsa yang lebih mengadopsi bentuk pemerintahan demokrasi liberal, perang antara mereka seharusnya tidak akan terjadi lagi. Kedua, Argumen empiris: Sejak awal abad 19, telah ada langkah dari Amerika untuk mengadopsi beberapa bentuk demokrasi liberal sebagai pemerintahannya, yang didefinisikan sebagai sebuah pemerintahan di mana hak-hak individu, seperti hak untuk kebebasan berbicara, lebih unggul daripada hak-hak negara. Ketiga, Argumen filosofis: Fukuyama meneliti pengaruh thymos (atau semangat manusia). Argumennya adalah: Bahwa demokrasi menghalangi perilaku berisiko. Pencerahan berpikir rasional menunjukkan bahwa peran tuan dan budak ternyata tidak memuaskan dan merusak diri. Oleh karenanya karenanya tidak diadopsi oleh roh-roh leluhur. Jenis argumen yang terakhir ini
awalnya diambil oleh Hegel dan John Locke.

Salah interpretasi
Menurut Fukuyama, sejak Revolusi Perancis, demokrasi telah berulang kali terbukti menjadi sistem fundamental yang lebih baik secara etis, politik, maupun ekonomi, daripada menjadi sistem alternatif. Maka yang paling umum dan mendasar, kesalahan dalam mendiskusikan tesis Fukuyama adalah kerancuan pembedaan antara ‘sejarah’ (history) dengan ‘kejadian’ (event). Fukuyama tidak mengajukan klaim pada titik apapun bahwa peristiwa yang terjadi akan berhenti di masa depan. Apa yang diklaimnya adalah bahwa semua hal yang akan terjadi di masa depan berupa demokrasi yang akan menjadi lebih umum dalam jangka panjang, meskipun bisa saja terjadi kembalinya totalitarianisme atau kemungkinan lain yakni kemunduran yang bersifat ‘sementara’.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa Fukuyama menyajikan demokrasi yang Americanized, sebagai suatu sistem politik yang benar, dan bahwa semua negara mau tidak mau harus mengikuti sistem pemerintahan tertentu, namun banyak pihak mengklaim hanya bahwa ini adalah salah interpretasi. Kritik bagi Fukuyama di titik ini adalah bahwa di masa depan akan ada semakin banyak pemerintah yang menggunakan kerangka demokrasi parlementer dan yang berisi berbagai bentuk pasar.

The End of History tidak pernah dikaitkan dengan model khusus Amerika baik dalam hubungan organisasi sosial maupun politik, betatapun Fukuyama mengutip Alexandre Kojève, filsuf Rusia-Prancis yang mengilhami argumentasinya. Ia percaya bahwa Uni Eropa lebih akurat mencerminkan seperti apa dunia akan terlihat pada akhir sejarah dibanding Amerika Serikat kontemporer. Maka upaya Uni Eropa untuk mengatasi kedaulatan dan politik kekuasaan tradisional dengan menetapkan aturan hukum transnasional adalah jauh lebih sejalan dengan dunia “pasca-sejarah” daripada keyakinan Amerika yang tetap memakaiBelief in God, national sovereignty, and their military.

Argumen yang mendukung
Asumsi dari teori Fukuyama adalah bahwa perang antara dua negara dengan kematangan demokrasi, dan karena sifat demokrasi liberal (yaitu, bahwa hak-hak individu dinilai lebih tinggi daripada hak-hak negara), tidak akan pernah ada. Hal ini terbukti kasus sampai sekarang.

Bukti empiris telah digunakan untuk mendukung teori ini. Freedom House berpendapat bahwa tidak ada demokrasi liberal tunggal dengan hak pilih universal di dunia pada 1900, tapi bahwa hari ini 120 (62 persen) dari 192 negara di dunia adalah negara demokrasi tersebut. Mereka menghitung 25 (19 persen) negara dengan ‘praktek demokrasi terbatas’ pada 1900 dan 16 (8%) hari ini. Mereka sebanyak 19 (14 persen) monarki konstitusional pada 1900, di mana konstitusi membatasi kekuasaan raja, dan dengan beberapa kekuasaan diserahkan ke legislatif terpilih.

Bukti empiris Lain terutama meliputi penghapusan perang antar-negara di Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Eropa Timur di antara negara-negara yang pindah dari kediktatoran militer ke demokrasi liberal.

Teori perdamaian demokrasi berpendapat bahwa terdapat demokrasi yang mengurangi kekerasan sistematis baik eksternal maupun internal. Hal ini tampaknya kompatibel dengan teori Fukuyama, tapi samasekali tidak kompatibel dengan konflik kelas ala Marx, yakni berakhirnya Perang Dingin dan meningkatan berikutnya dalam jumlah negara-negara demokrasi liberal yang disertai dengan penurunan perang total secara dramatis dan tiba-tiba, perang antar negara, perang etnis, perang revolusioner, dan jumlah pengungsi maupun orang-orang yang terlantar.

Demokrasi liberal berhasil memenuhi keinginan cemerlang kebutuhan dasar manusia (pangan, pakaian, tempat berteduh) tetapi menimbulkan beberapa pertanyaan. Adalah Will Man, yakni ertanyaan: Setelah kenyang, masihkah orang memiliki jenis thymos yang telah mendorong spesies untuk mencapai teknologi dan budaya? Apakah yang paling mampu dalam masyarakat puas untuk diperlakukan sama dengan orang-orang yang mereka anggap bawahan mereka, atau akankah mereka menuntut tingkat penghargaan politik sepadan dengan kontribusi mereka terhadap masyarakat? Apakah mereka yang berada di bawah skala sosial dan demokrasi liberal tidak, tak dapat disangkal, menghasilkan hierarki dari miskin ke kaya harus puas dengan Kekurangan di atas skala?, atau akankah mereka menuntut lebih tinggi dibawah yang lebih rendah? Fukuyama berusaha untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, yang digambarkan oleh pemikir seperti Plato, Tocqueville, Kant, Hegel, Marx, Nietzsche, dan Alexandre Kojeve berdasarkan pengalaman abad modern.

Menarik
Buku ini memang menarik, tetapi ada resiko yang terkadang salah arah. Pada akhirnya, pertanyaan yang menjiwai diskusi adalah sama bahwa manusia selalu punya wajah, yang pada akhirnya akan berada pada keinginan untuk keamanan atau dorongan untuk kebebasan. Tidak ada masalah yang lebih penting dalam sejarah manusia dan cara-cara di mana kita akan menjawabnya secara biasa untuk menentukan masa depan kita. Bahkan jika itupun tidak tiba pada suatu jawaban final. Fukuyama sedikit banyak telah menambahkan kepada pemahaman ini.

Minggu, 12 Juni 2011

PERBANDINGAN BADAN LEGISLATIVE INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT


Indonesia dalam system pemerintahan legislatifnya sebelum amandemen menganut system unilateral. Dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi Negara dan secara materiil, eksekutif sekaligus memiliki kewenangan legislative. Sedangkan pasca amandemen Indonesia menggunakan system bicameral asimetrik. Dalam system ini terdapat prihal yang sangat menonjol, dimana dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya (perluasan kekuasaan DPR). MPR sendiri masih mempunyai fungsi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) fungsinya antara “ada dan tiada”.
Namun, bila ditinjau lebih jauh sitem parlemen  di Indonesia bukan menganut system bicameral melainkan sistem trikameral. Ini mengingat bahwa MPR lembaga tersendiri yang mempunyai kewenangan tersendiri pula. Begitu pun dengan DPR dan DPD yang sama – sama memiliki kedudukan tersendiri dalam system parlemen Indonesia.
Sedangkan badan legislative Amerika Serikat diyakini menggunakan system bicameral. Hal ini dapat dilihat dari kewenangan kedua kamarnya yang seimbang, walaupun senat diberikan kekuasaan khusus oleh konstitusinya, diantaranya adalah senat merupakan kekuasaan satu – satunya untuk mencoba semua impeachment.
Amerika serikat dikatagorikan sebagai “strong bicameralism”, karena mempunyai symmetrical chambers dengan kekuasan yang diberikan oleh konstitusi sama dengan kamar yang pertama dan juga mempunyai legitimasi demokratis karena dipilih secara langsung dan juga incongruent karena berbeda dalam komposisinya.
House Of Representative (HOR) sebagai perwakilan politik, sedangkan senat sebagai perwakilan Negara bagian. Dengam demikian, lembaga legislative Amerika Serikat dirasakan lebih kokoh dari pada di Indonesia yang tidak memiliki keseimbangan kewenangan antara DPR dan DPD. Walaupun secara pemilihan dirasakan telah cukup demokratis karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

Selasa, 07 Juni 2011

Muhammad Abduh


 Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistim pembelajarannya yang dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang berpengetahuan luas dan penganut paham  tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan  studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.
Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.
Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada"
B.     Sejarah Perjuangan dan Kehidupan Politik
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum dan Universitas al Azhar. Dalam memangku jabatannya itu, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal.  Dia menggugat model lama dalam bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan sebagaimana yang dialaminya sewaktu belajar di masjid al-Ahmadi dan di al Azhar. Dia menghendaki adanya sistim pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan  berpikir, menyerap ilmu-ilmu modern dan membuang cara-cara lama yang kolot dan fanatik Sebagai murid Jamaluddin al-Afghani, maka pikiran politiknya pun sangat dekat dengannya.  Al Afghanyadalah seorang revolusioner yang secara serius memandang penting bangkitnya bangsa-bangsa timur guna melawan dominasi Barat.
Pada tahun 1879, pemerintahan Mesir berganti dengan turunnya Chedive Ismail dan digantikan puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangat kolot dan reaksioner sehingga berdampak pada dipecatnya Abduh dari jabatannya dan diusirnya al Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun berikutnya Abduh kembali mendapatkan tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "al Wakai' al Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isi hatinya dalam bentuk artikel-artikel serta pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.
Pada tahun 1882, Abduh dibuang  ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapat kesempatan untuk mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun.
Pada permulaan tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghany yang pada waktu itu telah berada disana. Bersama al Afghany, disusunlah sebuah gerakan untuk memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama "al 'Urwatul Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah pula sebuah majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara kebebasan yang ditiupkan al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menggema ke seluruh dunia dan memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap kebangkitan umat Islam. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaum imperialis merasa khawatir atas gerakan ini dan akhirnya pemerintah Inggris melarang majalah tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India.
Pada akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah Perancis melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan pengembaraannya ke Eropa.
Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir. Ia juga membuat perbaikan-perbaikan di Universitas al Azhar. Puncaknya, pada tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan kepada umat Islam.
C.    Pemikiran keagamaannya
Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa  aspek yang saling berhubungan, satu dengan yang   lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentang Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi seseorang dalam bertindak.
1. Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati (mujma’ ‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai jelas. 
Disinilah peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.
Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbangkan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah.  Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam - sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam- yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.
 Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.
Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum . Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.
 Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit.  Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut. 
Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan as Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.
Tantangannya yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.
 Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatan taklid dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami sesuatuTampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bisa diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.
 2. Bagian Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya, pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.
Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan menbawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.
 Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik. 
Dalam bukunya,Risalah Tauhid, kita temukan bahwa qada' dan qadar dalam pandangan dan pemikiran Abduh mempunyai pengertian yang berbeda dari yang umumnya dianut muslimin umumnya. Qada' menurutnya berarti “terkaitnya Ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui (wuqû’ al-sya’ ‘ala al-ilahi bi al-syai’). Sedangkan qadar adalah "terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan" (wuqû’ al-Syai’ ‘ala Hasb al-‘Ilm).
Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini yang berada di luar jangkaun ilmu Tuhan. Termasuk segala yang dipilih manusia sesuai kemauan dan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal ini berarti bahwa qada' dan qadar tidak menunjukkan adanya paksaan kepada manusia untuk melakukan sesuatu perbuatan. Tuhan hanya mengetahui segala yang dilakukan oleh manusia, bukan menetapkan di zaman azali apa yang harus dilakukan manusia.
Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.
 Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan.  Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, adalah Allah, Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam tersebut.
Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.
 Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud. 
Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. 
Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan.  Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistim hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya.  Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidakmampuan manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu. Dengan kata lain, peristiwa alam yang membawa kerugian bagi manusia disebabkan oleh karena manusia tidak mampu mengantisispasi sifat-sifat dari hukum alam yang bersangkutan. Jadi, hukum alamlah sesungguhnya yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
 1. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Cet. VII, Dar al Manar, 1353 H, Mesir
2. Muhammad Rasyid Ridha, Târîkh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, Juz I, Cet. II, Dar al-Manâr, 1367 H, Mesir
3.  Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, Universitas Indonesia, 1981, Jakarta