ETIKA POLITIK PEJABAT NEGARA

ETIKA POLITIK PEJABAT NEGARA

Tanggung Jawab Moral Pejabat
Masalah penting tentang etika politik ialah ‘banyaknya tangan yang terlibat’ atas produk-produk politik (keputsan-keputusan dan kebijakan pemerintah)
Tak dapat dibantah, bahwa sebelum produk politik berupa keputusan dan kebijakan ditetapkan, banyak pihak / pejabat baik dari instansi sendiri maupun dari instansi lain yang ikut sumbang saran dengan berbagai cara agar idea-idea mereka diserap dalam keputusan atau kebijakan pemerintah, maka sulit secara prinsip mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab secara moral atas suatu produk politik.
Walaupun suatu suatu kebijakan dinilai salah secara moral, namun sukar mendeteksi dan mengalokasikan siapa yang melakukannya.
Banyaknya tangan yang membidangi suatu produk politik juga menimbulkan masalah demokratis,karena sifat dari pembuatan kebijakan itu menghalangi akuntabilitas. Sebab bila warga negara mencari pejabat untuk diminta bertanggung jawab atas suatu kebijakan, mereka jarang menemukan seseorang yang sendirian melakukan kebijakan itu, dan bahkan tidak dapat menyingkap sipa yang sumbangan pendapatnya menjadi key word atau ide dasar dalam kebijakan itu untuk dipersalahkan.

Thompson (2000:50) mengatakan:
Menurut model hirarki “ tanggung jawab untuk suatu produk politik dibebankan kepada orang yang berkedudukan paling tinggi dalam rantai wewenang (hirarki) formal atau informal”
Beliau mengemukakan pernyataan Weber atas model hirarki ini:
1. Pemerintah modern mengakui adanya “wilayah yurisdiksi tetap” (fixed yirisdictional areas), “hirarki jabatan” (office hierearchi), dimana “ada suatu supervisi atas jabatan yang lebih rendah oleh jabatan yang lebih tinggi”
2. Adanya pembedaan yang tajam antara administrasi dan politik: Administrator hanyalah melaksanakan kebijkan yang ditetapkan politisi. Akhirnya  administrator dan politisi tunduk kepada “prinsip tanggung jawab yang persis berlawanan. Kehormatan pegawai sipil diberikan karena kemampuannya melaksanakan secara sadar, perintah dari atasan. Kehormatan pemimpin politik…, terletak pada tanggung jawab personal eksklusif atas apa yang ia lakukan, tanggung jawab mana tidak dapat ditolak atau dialihkan.
Kritik terhadap model Weber tersebut ialah, bahwa model terlalu menyederhanakan soal mengkaitkan tanggung jawab dengan pejabat publik karena model itu menempatkan para pejabat pemerintah melebihi wewenang tanggung jawab moral. Sepanjang mereka mengikuti perintah atasan dan prosedur-prosedur organisasi, maka mereka tidak bertanggung jawab atas hasil yang merugikan dari tindakan mereka.
Terkait dengan masalah ini, tanggung jawab hirarki tidak serupa dengan tanggung jawab moral. Menghubungkan tanggung jawaqb moral menurut posisi hirarkis akan melanggar asumsi fundamental dari moralitas. Bahwa orang hendaknya disalahkan jika mereka melakukan hal yang sebaliknya. Masalahnya, bukanlah tidak adil untuk menuntut tanggung jawab pejabat puncak atas kegagalan yang diluar kontrol mereka.
Tanggung jawab hirarkis tidak memberikan penjelasan moral apapun mengapa para pemimpin politis sering cukup siap untuk menyatakan dirinya bertanggung jawab penuh atas akibat dari suatu keputusan atau kebijakan yang keliru atau meruak.
Pengambilan tanggung jawab seperti itu telah menjadi semacam ritual politik yang tidak mempunyai dampak negatip terhadap seorang pemimpin, dan bahkan dapat menjadikan ritual itu suatu keuntungan.
Dengan mengucapkan “ saya menerima tanggung jawab sepenuhnya” seorang pejabat mengukuhkan posisinya- yakni meyakinkan publik bahwa ada yang tertuduh, dengan demikian dia memproyeksikan citra sosok pemimpin yang berani yang tidak mengelak dari tanggung jawab.
Perlu dicatat bahwa ritual politik termaksud sering mengakhiri debat publik tentang suatu keputusan atau kebijakan yang kontroversial. Bahkan efektif untuk membendung penyelidikan lebih jauh tentang tanggung jawab moral dari semua pejabat yang terlibat.

Illustrasi
Dalam hal kegagalan invasi AS ke Teluk Babi, Presiden Kennedy secara pribadi menyalahkan CIA, pemimpin gabungan dan setiap orang yang tahu tentang invasi sebelumnya. Tetapi secara publik dia menerima “tanggung jawab sendiri” dan berkeberatan terhadap “usaha setiap orang untuk menggeser tanggung jawab” dari pundaknya.
Model hirarkis dalam kasus ini, tidak hanya memangkas penyelidikan publik tentang tanggung jawab para pejabat lain atas kegagalan invasi, bahkan telah mencegah debat publik untuk mempertimbangkan apakah subbersi seperti jenis itu secara moral dapat dibenarkan?
Pada musim semi 1973 peristiwa Watergate makin lama makin menggoyang kedudukan presiden. Nixon minta rumusan tentang ritualistik tanggung jawab dalam bentuknya yang hampir murni “Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini?... Jalan paling mudah bagi saya adalah mempersalahkan mereka yang kepadanya saya mendelegasikan tanggung jawab untuk menjalankan kampanye”
Tetapi ritual sperti itu dianggap pengecut, Nixon di jatuhkan. Tanggung Jawab Kolektif
Banyak produk politik merupakan hasil buah tindakan banyak orang yang berbeda-beda, sehingga kontribusi individual mungkin tidak dapat di identifikasikan sama sekali dan tidak bisa benar-bnenar dibedakan dari kontribusi orang lain.
Dalam hal ini ada klaim: Pertama, tidak ada seorang individu dapat secra moral dipersalahkan karena hasil-hasil kolektif seperti  itu. Kedua, menawarkan altermatif (a) setiap individu yang berhubungan dengan kolektivitas hendaknya dibebani tanggung jawab moral, dan (b) hanya kolektivitas dapat dibebankan.
Bayak debat dalam soal ini: Herbert Kaufman, dalam hal birokrasi, ingin membebankan kesalahan pada semua warga negara, dan menurutnya para pejabat pemerintah dan karyawan hanya kambing hitam. Kita menuduh mereka karena secara intuitif kita ingin mengalihkan kesalahan dari sebab sesungguhnya, yakni kita sendiri. Contoh: Pungli di Indonesia, dan bahkan sekarang ini Presiden SBY sering dipergunjingkan.
Selain itu ada pandangan yang menolak upaya meletakkan tanggung jawab moral pada individual (pada bawahan atau atasan). Tanggung jawab harus bersifat kolekjtif. Alasannya ialah, bahwa karena para pejabat itu bertindak sebagai perwakilan, dibatasi oleh permintaan warga negara dan diikat komitmen-komitmen tertentu. Keputusan mereka tidak sepenuhnya sukarela atau pilihan mereka.

Tanggung Jawab Pribadi
Mengkaitkan ntanggung jawab pada pejabat sebagai pribadi, dan bukan hanya sebagai pemangku jabatan (anggota kolektivitas), dapat dilakukan melalui dua kriteria tanggung jawab moral:
Pertama, apabila tindakan atau kelalian dari pejabat itu yang merupakan sebab dari timbulnya kebijakan (keputusan), disebut tanggung jawab kausal.
Kedua, apabila tindakan atau kelalaian tersebut tidak dilakukan dalam ketidak tahuan atau dibawah tekanan, disebut tanggung jawab atas kemauan sendiri.

Sebab-sebab Alternatif.
Excuse:
Kasus Inspektur Scanlan dan Pertambangan Centralia. Ia disalahkan atas kematian para penambang, karena dia mempunyai wewenang untuk menutup pertambangan yang dia tahu tidak aman, namun dia tidak menutupnya.
Diantara pembelaan Scanlan ialah – Jika dia menutup pertambangan, dapat dipastikan dia akan dipecat oleh Direktur pertambangan dan Mineral, dan dia akan menunjuk seorang inspektor lain yang lebih penurut,  kemudian membukanya. Kematian tetap akan menimpa para penambang. Hal itu disebut excuse dari sebab alternatif.

Kehidupan Pribadi Pejabat Pemerintah
Disatu pihak pejabat pemerintah menuntut lebih banyak privacy untuk diri mereka. Namun sebenarnya hanya sedikit yang diberikan oleh warga negara. Bagi para pejabat atau calon pejabat sering dipaksa publik untuk menyingkapkan lebih banyak tentang urusan keuangan, atau riwayat kesehatan, dan pers lebih suka mempublikasikan kebiasan-kebiasan buruk pejabat, seperti minum (mabok), perilaku seks, serta kehidupan keluarga.
Pokoknya privacy para pejabat pemerintah kurang dihargai dibanding privacy warga negara biasa. Batas-batas antara kehidupan pribadi dan kehidupn publik pejabat pemerintah sering disalah pahami.. Persoalan privacy muncul ketika para pejabat dituntut untuk menyingkapkan tentang diri mereka atau mereka dituntut untuk menginformasikan privacy pejabat lainnya. Selain itu para petugas personalia juga selalu dihadapkan pada masalah pengungkapan privacy tesbut, khususnya ketika menyeleksi calon pegawai atau pejabat. Demikian juga para petugas pers menghadapi dilemma dengan privacy tentang apa yang harus ditulis dan apa yang tidak boleh ditulis.
Apa yang harus dicermati oleh para pejabat dan pihak yang terkait bahwa didalam diri para pejabat itu ada hal-hal konfidensial atau bersifat rahasia, terutama yang terkait dengan urusan kerahasiaan pemerintah, hal tersebut harus dijaga kerahasiaannya dan sah-sah saja bila tidak diungkapkan walaupun dituntut untuk membukanya.
Kehidupan pribadi terdiri dari kegiatan-kegiatan yang mungkin dikenal, diamati atau dicampuri dengan persetujuan orang yang bersangkutan. Dimensi lingkup privacy tidak begitu jelas, tergantung pada kebiasaan yang relatif. Terlepas dari kondisi itu, warga negara memiliki hak untuk mengontrol informasi tentang diri mereka.

Kejahatan Pejabat dan Hukuman
Ada ungkapan: Bila para pejabat bertindak berlawanan dengan kepercayaan yang diberikan, tradisi liberal menwarkan kepada warga pengikutnya bantuan terakhir dengan “naik banding ke Surga” Tradisi itu kurang yakin untuk naik banding ke pengadilan duniawi.
Hukum kriminal berfungsi lebih baik untuk menghukum kejahatan warga negara dibanding kejahatan pemerintah terhadap warga.  Alasannya antara lain karena pemerintahlah yang mengelola sarana-sarana penghukuman, dan alasan yang lebih fundamental ialah kejahatan pemerintah nampaknya tidak memenuhi syarat-syarat moral yang membenarkan penerapan sanksi kriminal.
Pada awalnya hukum kriminal diarahkan kepada pelanggaran yang dilakukan individu yang bertindak sebagai warga negara biasa. Kejahatan pemerintah sering tidak meninggalkan jejak kriminal individual atau kriminal warga, terutama apabila kejahatan kriminal itu merupakan produk struktur organisasional dan bukan keputusan individu-individu yang disengaja.