Selasa, 22 Februari 2011

sengketa pulau ambalat


    Sejarah terjadinya sengketa Ambalat
Suhu konflik memanas hingga mencapai titik ekstrem pada 2005 dan paruh pertama tahun ini. Itu semua beriringan dengan kesepakatan eksplorasi minyak dengan para raksasa tambang minyak di perairan yang diklaim memiliki cadangan minyak 2 miliar barel dan 3-5 triliun kubik gas alam cair (LNG) itu.
Sikap Malaysia sendiri mengeras setelah gugatan mereka di Sipadan dan Ligitan dimenangkan Mahkamah Internasional pada 2002 yang membuat batas lautnya memanjang hingga cukup untuk mengklaim Ambalat, termasuk Blok XYZ yang berlimpah ruah gas. 108 tahun lalu, pada 1891, Inggris dan Belanda yang menguasai Kalimantan, menetapkan garis paralel 4 derajat 10 menit Lintang Utara sebagai batas administrasi kolonial mereka.
Pulau Sipadan dan Ligitan yang hanya sekian menit derajat dari garis batas kolonial itu menjadi milik Indonesia meskipun secara geografis lebih dekat ke pantai Malaysia. Pada 1979, Malaysia resmi mengklaim kedua pulau sebagai teritorinya, namun baru 23 tahun kemudian, pada 2002, Malaysia resmi memilikinya.
Sukses di kedua pulau ini ternyata membuat Malaysia "pede." Tiga tahun setelah itu, pada 16 Februari 2005, Malaysia memberi konsesi penambangan minyak di Blok Ambalat, kepada Royal Dutch Shell dan Petronas. Seolah mengaplikasikan doktrin penguasaan laut dari pakar strategi perang Alfred Thayer Mahan yang dianut banyak rezim maritim dunia, Indonesia bereaksi keras terhadap langkah Malaysia itu dengan segera menggelar armada perang di Ambalat sebagai simbol kedaulatan RI di wilayah itu.
Dalam "The Influence of Sea Power Upon History," Mahan menyebut penguasaan maritim oleh angkatan laut adalah kunci sukses dalam politik internasional. Penguasaan laut ini sebagai pilar bagi operasi kebijakan di darat (diplomasi dan militer) dan simbol penjagaan atas asset maritim dengan menghentikan manuver lawan di wilayah itu. Intinya, penggelaran kekuatan laut adalah deterens (pencegahan) terhadap musuh yang hendak memasuki area internasional yang disengketakan.
Ironisnya, Malaysia juga mengaplikasikan pendekatan serupa. Kedua negara pun berlomba meyakinkan dunia mengenai siapa yang berkuasa di Ambalat. Masalahnya, Malaysia akan amat sulit mendapatkan Ambalat ketimbang saat memperoleh Sipadan dan Ligitan tujuh tahun silam.
Bukan saja kedua negara mengadopsi pendekatan hukum internasional yang berbeda sehingga diplomasi menjadi amat alot, namun juga menghadapi Indonesia yang lebih militan dan "all out" di Ambalat, disamping juga lebih siap landasan hukumnya.
Spekulasi kemudian berkembang bahwa ekspedisi militer Malaysia di perairan Ambalat lebih ditujukan untuk memaksa Indonesia berbagi pengusahaan energi di blok itu, sebuah opsi yang sukses diterapkan Malaysia terhadap Thailand dalam sengketa Teluk Thailand.
Namun, solusi di Ambalat lebih sulit diambil karena blok kaya minyak itu telah diberikan kepada banyak perusahaan minyak. Celakanya bagi Malaysia, jauh-jauh hari Indonesia menolak opsi operasi bersama (joint operation) karena RI yakin 100 persen bahwa Ambalat, apalagi Blok XYZ , adalah wilayahnya.
Cerita berkembang ke sejarah eksplorasi minyak di daerah itu. Tanggal 8 Maret 2005, Straits Times mewartakan, pada 1960an Indonesia memberi konsesi minyak di Laut Sulawesi ke beberapa perusahaan minyak, termasuk Shell dan Chevron. Pada 1999, Shell menandatangani kontrak bagi-produksi dengan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan akses ke Ambalat namun pada 2001 konsesi ini dijual ke perusahaan tambang Italia, ENI SpA, sebelum kemudian ditemukan cadangan minyak berlimpah di Ambalat.
Pada 2005, tiga tahun setelah Malaysia mendapatkan Sipadan dan Ligitan, Shell masuk lagi ke Ambalat melalui pintu Malaysia. Indonesia seketika geram dengan ulah Shell ini. Pengamat perminyakan Kurtubi, dalam wawancara dengan Radio Netherland empat tahun silam, menuding Shell berbuat curang, keluar dari Ambalat dengan menjual konsesi ke ENI SpA, tetapi masuk lagi melalui Malaysia.
Tuduhan tak kalah keras keluar dari Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi Direktorat Jenderal Migas Novian Thaib, (Kompas 9 Maret 2005), bahwa perusahaan minyak patungan Inggris-Belanda ini telah memakai data migas Blok Ambalat tanpa seizin pemerintah Indonesia. Shell melakukan itu saat mendapat hak eksplorasi Blok Ambalat pada 1999.
Sebelumnya, pada 21 Februari 2005, Departemen Luar Negeri RI mengingatkan Shell karena menerima konsesi dari Malaysia. "Kami katakan kepada Shell bahwa kami (Indonesia) akan melakukan langkah `firm` (keras) terhadap kegiatan apapun yang dilakukan Shell di perairan kita," kata Arif Havas Oegroseno, yang kini Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Negeri (Gatra, Maret 2005).
Ironisnya, Malaysia memberikan konsesi kepada Shell setelah BP Migas memberi rekomendasi serupa kepada Unocal Corp --yang merger dengan Chevron pada Agustus 2005-- bagi eksplorasi LNG di blok yang sama. Shell menjawab surat Deplu bahwa mereka berjanji memerhatikan secara serius keinginan pemerintah Indonesia. Sengketa Indonesia-Malaysia pun perlahan reda, kedua negara sepakat menyelesaikan sengketa lewat mediasi internasional.
Tidak disangka setelah Indonesia merekomendasi perpanjangan kontrak Chevron dan hak eksplorasi ENI di Ambalat tahun ini, Malaysia memobilisasi militernya di Ambalat hingga jauh memasuki teritori Indonesia.
     Perkembangan sengketa Ambalat dan langkah penyelesaiannya
Sengketa pun mencapai babak terpanasnya. Deru dan gemerincing mesin perang seolah telah mengecilkan volume suara diplomasi. Sejumlah pakar menyebut manuver Malaysia di Ambalat sebagai intimidasi terhadap ENI agar jangan melakukan kegiatan penambangan apapun di Ambalat sampai kesepakatan internasional dicapai. Malaysia tidak mengutakatik Chevron-Unocal karena menambang di teritori aman Indonesia.
Sejumlah lainnya berpendapat Malaysia sedang memaksa Indonesia untuk mengupayakan pengusahaan bersama di Ambalat seperti dilakukannya di Teluk Thailand kepada Thailand. Untungnya, kedua negara berulangkali ingin menyelesaikan persoalan lewat dialog dan diplomasi, bahkan ini disampaikan para hulubalang tertinggi militer kedua negara. Panglima TNI dan Angkatan Tentera Malaysia malah kerap bertemu secara reguler.
Mungkin karena kedua negara sebenarnya tahu risiko perang lebih merugikan kedua negara dan merusak pencapaian kedua bangsa di beberapa tahun terakhir. Mungkin juga kedua negara tak ingin terjerembab dalam skenario pihak lain di Ambalat.
Seperti dikutip Kompas (17/4, 2009), seorang promotor normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia pascakonfrontasi 1960an, Des Alwi, mengingatkan kedua negara mengenai "politik adu domba" gaya baru prokapitalisme global di Ambalat. Des menilai, sengketa perbatasan di kawasan kaya minyak dan terumbu karang itu nyaris menimbulkan perang karena ulah satu negara Eropa yang membawa kepentingan satu perusahaan raksasa minyak yang ingin mendapatkan konsesi Ambalat.
Jika itu benar, alangkah ruginya kedua negara masuk dalam perangkap perang yang justru bukan kemauan mereka. Merugi pula, reaksi dan mobilisasi massa berlebihan yang malah membuat senang pihak ketiga yang tak peduli Ambalat diselesaikan oleh semburan meriam.

ü        Aksi-aksi sepihak

1.        Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang {nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
2.        Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
3.        Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI.
4.        Pada koordinat: 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°N 118.6287556°E / 4.1009972; 118.6287556 terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
5.        Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia
6.        Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.
7.        Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
8.        Dan Tgl 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan.
ü        Langkah-langkah Penyelesiaan Kasus Ambalat
Belajar dari pengalaman dan menyimak kejadian yang sebenarnya, makna konflik blok Ambalat bukankah sekedar persoalan benar-salah atau kalah-menang. Namun harus diselesaikan dengan jernih dan proporsional. Langkah Presiden SBY yang pada 8 Maret 2005 melakukan peninjauan langsung ke wilayah Ambalat yang disengketakan itu sangat tepat. Peninjauan tersebut juga melengkapi komunikasi Presiden SBY dengan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badawi yang membuahkan kesamaan pendapat bahwa persengketaan di Ambalat harus dapat diatasi dengan cara damai.
Menghadapi Malaysia, Indonesia tidak boleh lengah sedetikpun atau mundur selangkahpun. Bersamaan dengan itu harus pula dapat dibuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah wilayah Indonesia. Sengketa di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau Sipadan – Ligitan.
Agar tidak terulang nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan – Ligitan, maka untuk menetapkan keabsahan status kawasan Ambalat tidak diperlukan dialog basa-basi. Secara substansial, posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap pada tingkat kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia telah “kecolongan” atas lepasnya pulau Sipadan – Ligitan sebagai akibat dari suatu “kelalaian”.
Sehubungan dengan penegasan Presiden SBY bahwa konflik Ambalat diselesaikan melalui cara damai, kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia berkemampuan dalam berdiplomasi. Faktor ini sangat penting manakala Indonesia tidak ingin mengulangi pengalaman pahit atas kekalahan dalam sengketa Sipada – Ligitan tersebut.
Indonesia sudah berulangkali meminta Malaysia untuk merundingkan batas landas kontinen antar kedua negara, namun Malaysia tidak pernah menanggapinya secara serius. Tawaran Indonesia tersebut diajukan karena Malaysia telah membuat peta sepihak yang dibuat tahun 1979, yang jelas-jelas menyalahi hukum internasional.
Bisa jadi, diamnya Malaysia adalah menunggu saat yang tepat untuk mengajukan klaim atas Ambalat, setelah pulau Sipadan dan Ligitan ‘direbut’. Sebagaimana dijelaskan dalam awal tulisan ini, UNCLOS sendiri ‘membenarkan’ klaim tersebut, walaupun masih harus dibarengi dengan beberapa persyaratan. Rasa percaya diri yang tinggi atas kemenangan klaim Sipadan dan Ligitan, membuat Malaysia mabuk kepayang, dan terkesan rakus.
Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri maupun Menteri Luar Negeri Malaysia mempunyai andil besar dalam ragka pencaplokan Ambalat. Mereka bertiga secara bersama-sama selalu menekankan bahwa mempertahankan kedaulatan territorial Malaysia adalah sangat penting, dan kehadiran Menlu Malaysia ke Jakarta 9-10 Maret 2005 bukan untuk bernegoisasi. Ini artinya mereka tak menghendaki jalan diplomasi.
Sebaliknya Indonesia, dengan bukti-bukti yang sangat kuat tak akan mungkin mundur selangkah pun untuk mempertahankan Ambalat. Prof. Dimyathi Hartono, pakar hukum internasional menyatakan bahwa secara yuridis, Indonesia, kali ini lebih kuat kedudukannya, dibandingkan ketika bersengketa terhadap pulau Sipadan dan Ligitan.
Prof. Hasyim Jalal menyatakan bahwa blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur. Antara Sabah Malaysia dengan kedua blok tersebut terdapat laut dalam yang tak mungkin bisa dikatakan bahwa kedua blok itu kelanjutan alamiah Sabah. Sedangkan kelanjutan alamiah dari daratan merupakan kewenangan negara atas wilayah laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982. Dengan demikian, Indonesia mempunyai posisi yuridis yang sangat kuat, dan bila Malaysia tetap ngotot, maka jalan tengah yang paling baik adalah ke Mahkamah Internasional.

1 komentar: