Senin, 02 Mei 2011

“Soft Diplomacy” Iran

16 Oktober lalu di Teheran telah menarik perhatian media dan banyak negara di tengah-tengah krisis nuklir Iran dan meningkatnya ketegangan hubungan AS-Iran berkaitan dengan perkembangan di Irak dan Timur Tengah. KTT tersebut dipandang sebagai suatu milestone dalam kerja sama regional yang berkaitan dengan berbagai isu negara-negara litoral Laut Kaspia.
KTT yang dihadiri Presiden Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Rusia, dan Turkmenistan ini merupakan pertemuan kedua setelah Ashgabat, Turkmenistan, tahun 2002 dan sekaligus kunjungan pemimpin Kremlin pertama ke Iran sejak Josef Stalin hadir dalam Teheran Conference bersama Winston Churchill dan Franklin Roosevelt tahun 1943. Fokus dalam KTT adalah energi, kerja sama regional, status legal Laut Kaspia, dan proyek ekonomi bilateral.
Bagi Presiden Vladimir Putin, KTT ini juga menjadi upaya Rusia mengembangkan minyak dan gas alam yang ada di Iran, termasuk kebijakan pemasaran sphere of export Rusia dengan memasukkan Iran dalam kartel ekspor gas di bawah kontrol Rusia. Hal ini juga jelas terlihat dalam upaya Rusia pada Gas Exporting Countries Forum awal tahun 2007 ini. Dengan mengeksploitasi ketegangan AS-Iran dan ancaman sanksi AS terhadap investasi sektor energi Iran, Moskwa tampaknya memiliki kepentingan membawa Iran dalam pasar gas internasionalnya. 

Kebijakan Washington
Joint statement Putin-Ahmadinejad telah menantang kebijakan Washington terhadap isu Iran dan kebijakan sanksi AS bagi negara tersebut. Rusia akan memilih posisi timing keterlibatannya dalam pengembangan gas alam Iran. Atau memutuskan menundanya dengan imbalan konsesi Barat untuk isu yang lain, yang tentunya tidak berkaitan dengan isu energi. Putin tampaknya menempatkan isu Iran sebagai quid pro quo keamanan Eropa dan isu pengawasan senjata dalam pertemuannya dengan Condoleezza Rice dan Robert Gates beberapa waktu sebelumnya di Moskwa. Namun, bukan tidak mungkin Putin tetap memberikan otorisasi bagi Gazprom beroperasi di Iran dan mengabaikan sanksi AS (di mana perusahaan Eropa juga tidak dapat beroperasi karena sanksi tersebut).
Sementara itu, Rusia menolak konstruksi trans-Caspian pipelines yang didukung AS yang akan menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan, via Azerbaijan, langsung ke Eropa. Laut Kaspia dan sumber daya minyak dan gas alamnya merupakan cadangan terbesar ketiga di dunia. Tahun 1921, Iran dan Uni Soviet menandatangani perjanjian yang membagi dua Laut Kaspia. Kawasan ini memiliki cadangan minyak 49 billion barrel—atau sama dengan produksi setengah anggota OPEC seperti Kuwait—dan cadangan gas alam sebesar 230 trillion cubic feet.
Iran memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi dan cadangan gas terbesar kedua setelah Rusia. Posisi geostrategis Iran dengan jaringan pipelines-nya dan sebagai produsen OPEC terbesar kedua juga menjadikannya aktor kunci dalam energi dunia. Devisa ekspor minyak Iran mencapai sedikitnya 45 miliar dollar AS tahun 2007 atau 50 persen dari anggaran belanja tahunannya. Iran juga menyuplai 5 persen minyak dunia.
Bagi Iran, KTT tersebut merupakan kesuksesan tersendiri bersama-sama dengan Rusia. Teheran tampaknya akan menggunakan peluang tersebut sebagai stepping stone untuk keanggotaan penuhnya dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang dianggap sebagai security counterweight terhadap NATO dan hegemoni AS. 

Konvergensi kepentingan
Iran dan Rusia memiliki kepentingan yang sama dalam menghadapi kebijakan interventionist AS dan berupaya mengembangkan hubungan strategis baru di kawasan Eurasia. Baik Iran maupun Rusia saat ini merupakan obyek dari American coercion, tujuan dan kepentingan keamanan nasional kedua negara mengalami tantangan pasca-”9/11″. Rusia dan Iran juga memiliki hubungan khusus dengan mantan Uni Soviet sejak tahun 1921 dan 1940 mengenai pengaturan Laut Kaspia.
Pesan dari Caspian Summit kenyataannya tidak lebih dari perlunya demokratisasi tata internasional dengan upaya sebagian negara menghambat apa yang disebut sebagai American “leviathan”, seperti yang ditunjukkan dalam kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut, termasuk melarang negara lain menggunakan Caspian littoral states untuk menyerang negara lainnya, termasuk upaya militer AS menggunakan Azerbaijan untuk menyerang Iran.
Apa yang dicapai dari KTT ini adalah upaya diplomasi Iran dan evolusi strategis kebijakan luar negeri Rusia yang tidak lagi tergantung pada prioritas kepentingan taktis di atas kepentingan strategisnya. Dengan mencapai level ini, Moskwa sekarang memasuki hubungan strategis baru dengan Iran guna memenuhi kepentingan geostrategis dan keamanannya di kawasan Eurasia.
Menurut Presiden Vladimir Putin, Iran adalah kekuatan global dan regional yang penting dalam pertemuannya dengan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang dianggap pemimpin dunia ketiga menghadapi kebijakan AS yang dominan di panggung politik dunia. Iran berupaya melalui KTT Kaspia ini agar kebijakan luar negeri Ahmadinejad membuka ruang gerak baru bagi diplomasi Iran, tidak hanya terhadap Kaspia, Kaukasus, dan Central Asia, tetapi juga citra Iran di Timur Tengah.
“Soft diplomacy” Iran
Meskipun masih banyak isu yang belum dapat diselesaikan dalam KTT yang baru lalu dalam mendorong kerja sama regional di antara lima Caspian littoral states, namun telah jauh berbeda dibandingkan KTT pertama tahun 2002. Tetapi, iklim geostrategis dalam KTT telah mendukung Iran dengan joint communique yang menolak agresi militer terhadap Iran, termasuk pernyataan Presiden Putin yang sangat tegas dalam hal ini.
Komitmen Rusia terhadap pembangkit nuklir Bushehr di Iran juga menunjukkan dukungan yang signifikan terhadap Iran yang menghadapi tekanan akibat aktivitas pengayaan uraniumnya. Dapat diduga pernyataan Presiden Rusia ini akan memprovokasi kemarahan Washington. Ini juga menunjukkan sinyal akhir dari diplomatic consensus Rusia-AS vis-à-vis Iran.
Teheran Summit dan hasilnya menjadi setback yang serius bagi diplomasi Washington terhadap isu Iran, namun juga menunjukkan dampak diplomasi Rusia yang menyebabkan Moskwa dan Washington akan mencapai dead end. Namun, di sisi lain, kebijakan baru Putin terhadap Iran juga berisiko, terutama jika hal itu tidak menghasilkan kerja sama Iran yang lebih dalam hal isu nuklirnya.
Apa yang disebut lonely superpower oleh Samuel Huntington tampaknya dapat dialami AS yang merasa kehilangan coalition of the willing-nya menghadapi Iran, baik di dalam maupun luar PBB. Pilihan yang ada adalah tetap berkeras tidak menyesuaikan kebijakan yang diperlukan terhadap Iran atau menghadapi diplomatic defeat di global arena. Soft-power diplomacy yang dilakukan Iran telah memberikan arti tersendiri bagi kesuksesan KTT dan frustrasi AS terhadap upaya coercive diplomacy-nya. 

Leonard Hutabarat Alumnus Institut d’Etudes Politiques de Paris