Kamis, 28 Juli 2011

Demokrasi Model China

Sebuah bangsa yang multietnis dengan penduduk lebih dari 1,2 miliar, jika tidak memiliki kepemimpinan yang kuat, akan buyar bagaikan gundukan pasir ketika diterpa gelombang modernisasi. Demikian pernyataan Presiden China Jiang Zemin dalam wawancara dengan New York Times (2001). Menjawab kritik bahwa China antidemokrasi, dia mengutip pendapat Lincoln bahwa inti demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintah China sangat peduli menyejahterakan rakyat.

Rupanya batasan mengenai rakyat antara masyarakat Barat dan China memiliki perbedaan konsep dan aplikasi. Mike Wallace dari televisi CBS pada September 2000 mempertanyakan soal ini kepada Jiang Zemin. ”Mengapa masyarakat Amerika bisa memilih pemimpin nasional mereka, tetapi Anda tampaknya tidak memercayai rakyat China memilih pemimpin nasional Anda?” Jawab Jiang seperti diungkapkan kembali oleh John Naisbitt dan Doris dalam China’s Megatrends (2010), ”Saya juga pemimpin terpilih meski kita memiliki sistem pemilu yang berbeda.”

Jika aktor utama demokrasi adalah rakyat dan tujuan akhir adalah melayani rakyat, maka para elite politik China dapat membanggakan diri bahwa modernisasi China yang dimulai sejak tahun 1978 secara sangat menakjubkan telah berbuat sangat banyak untuk memakmurkan rakyatnya. Dalam jargon ilmu sosial, sistem politik dan ekonomi China saat ini sering disebut sebagai kapitalisme China atau ekonomi pasar sosialis atau ”sosialisme dengan karakter China”.

Dengan ungkapan lain, sekarang tengah berlangsung pergeseran dari perekonomian terencana ke ekonomi pasar yang merupakan ciri masyarakat kapitalis. Dengan pergeseran ini, ruang publik semakin luas dan sesungguhnya bangsa China juga dikenal sebagai bangsa pedagang yang dekat dengan tradisi kapitalisme.

Deng Xiaoping yang dikenal sebagai ”bapak China modern” telah membalikkan paradigma Mao yang ideologis-utopis menjadi empiris-pragmatik. Deng terkenal dengan ucapannya bahwa warna kucing tidak penting—apakah putih ataukah hitam—yang paling pokok adalah dia bisa menangkap tikus. Sikap pragmatik ini juga sangat dirasakan dalam kebijakan dan komunikasi politik yang berusaha mengombinasikan kebijakan top-down dan bottom-up. Pemerintah dan negara tetap kuat mengendalikan politik dan kebijakan ekonomi, tetapi dalam waktu yang sama pemerintah mendorong desentralisasi sehingga rakyat memiliki peluang partisipasi dalam menentukan arah pembangunan serta terjadi kompetisi antarprovinsi.

Masyarakat pembelajar

Sekarang ini membicarakan politik dan ekonomi dunia tidak bisa melepaskan pembahasan tentang China. Menurut Naisbitt, dengan merujuk pendapat Francis Fukuyama, The End of History (1992), AS memandang dirinya sudah menjadi bangsa dan negara yang ideal dalam mengembangkan konsep demokrasi dan humanisme dalam sejarah kemanusiaan. Dia lalu bertindak sebagai polisi dan guru dunia dengan mempromosikan missionary thinking kepada negara-negara lain. Oleh karena itu, politik luar negeri AS sangat impresif dan agresif.

Masyarakat China lebih memilih sebagai masyarakat pembelajar. Mereka belajar dari kegagalan Uni Soviet dalam mempraktikkan ajaran Marxisme-Leninisme dan keberhasilan Barat dalam mewujudkan ideologi kapitalisme, lalu semua itu diadaptasikan kepada sejarah dan tradisi China. Meminjam istilah Naisbitt, dari delapan pilar mewujudkan masyarakat China baru dan modern, pilar pertama yang dilakukan Deng Xiaoping adalah emansipasi cara berpikir.

Pembebasan dan perubahan cara berpikir dan mentalitas warisan Mao yang terbelenggu ideologi komunisme yang ekslusif-konservatif menjadi inklusif dan terbuka. Jadi kaya itu tidak dosa, kata Deng. Sekarang sudah berkembang lagi menjadi kaya ternyata enak dan disegani dunia sehingga China juga dikenal sebagai kapitalisme yang didukung negara.

Ketika Hongkong dikembalikan Inggris ke tangan China (1997), dunia khawatir iklim demokrasi, wirausaha, dan penegakan hukum yang telah begitu kuat akan pudar hanyut ke dalam sistem sosialisme-komunisme. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: berlangsung proses yang amat cepat ”hongkongisasi” China daratan. Hongkong jadi model masa depan bagi seluruh bangsa China yang dibesarkan dalam inkubator kapitalisme, kebebasan berusaha, penegakan hukum, dan kebebasan serta ekspresi pribadi sebagaimana budaya Inggris.

Proses demokratisasi di China rupanya mengambil jalannya sendiri, tidak dilakukan secara gegabah meniru Barat. Negara tetap memegang kendali secara solid, tetapi ruang gerak masyarakat untuk berusaha justru didorong dengan kebijakan desentralisasi daerah. Individu dan masyarakat didorong untuk mengembangkan ”ekonomi inovatif”. Mesin produktivitas China saat ini adalah buruh yang murah, inovasi, dan menggeliatnya kapitalisme dengan pangsa pasar yang sangat besar. Tidak mengherankan bahwa China juga dikenal sebagai tukang bajak kekayaan intelektual terbesar di dunia.

Meski mendatangkan keuntungan besar, barang bajakan dan tiruan akan mengancam China kalau dunia kehilangan kepercayaan. Dunia pun sekarang tengah berspekulasi, ke mana arah kemajuan China, apakah akan mengancam negara lain atau mendorong kemakmuran dan perdamaian dunia. Di dalam negeri sedikitnya masih terdapat sekitar 300 juta petani miskin, sebanyak warga AS. Ini mesti diperhatikan agar tak menjadi bom waktu. Namun, perlu diakui, dalam tiga dekade terakhir China mampu mengentaskan penduduk miskin sedikitnya 400 juta.

Hubungan demokrasi dan ekonomi inovatif sangat erat. Inovasi sebagai buah pikiran bebas, kreatif, dan berisiko selalu dilakukan oleh individu-individu yang hidup dalam alam demokrasi. Inovator semacam Bill Gates dapat muncul karena iklim kebebasan yang ada di AS. Akan tetapi, bangsa China sangat sadar, jika kekebasan dibuka sedemikian lebar seperti di AS, negara itu bisa buyar seperti pengalaman Uni Soviet dan Yugoslavia. Belajar dari negara tetangganya yang sama-sama menganut ideologi sosialisme-komunisme yang ternyata berakhir dengan kegagalan, China mengembangkan konsep demokrasi yang berakar pada sejarah dan tradisi sendiri.

Ke depan, bangsa yang miskin inovasi pasti akan kalah dalam persaingan global. Inovasi akan berkembang apabila pendidikan sebuah bangsa berkualitas, riset maju, dan iklim kebebasan terlindungi sehingga pada urutannya akan menciptakan banyak lapangan kerja dengan produk kompetitif dalam pasar global.


Oleh: Komaruddin Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar